Cari Blog Ini

Selasa, 22 Desember 2020

POLES KACA - EP. 28: SIRUP LECI KOK BERWARNA HIJAU?


Jangan dengerin ini deh, nyesel ntar.

Episode kali ini aku mau bahas tentang sebuah keanehan dari sebuah varian sirup yang berbeda dengan biasanya, yaitu sirup leci berwarna hijau. Fenomena ini sebenarnya hanya pabrik yang tahu, namun terkadang kita salah mengartikan fenomena ini sebagai sebuah judge tanpa alasan. Maka dari itulah kita wajib untuk mengenal ciri-ciri suatu fenomena tersebut.

#Podcast #PolesKaca #Warna #Sirup #Kenal #Religi #Opini #Cerita #Hikmah #Makna #Narasi #MenataSemesta #UnifyingUniverse #OurStruggle

#Podcast #PolesKaca #Warna #Sirup #Kenal
(AWAS PODCAST INI MENGANDUNG UNSUR RELIGIUS!!!)
Halo semua!

Selamat datang di podcast yang tidak punya makna, tidak punya inti, dan tidak punya tujuan karena podcasts ini hanya akan mengurangi IQ Anda dan mengurangi kejeniusan Anda. Haha!

Tidak ding, bercanda~

Jadi di POLES KACA ini akan ada bermacam-macam podcasts yang berisi tentang hal-hal apa saja yang terjadi di dunia ini mulai dari pengalaman pribadi hingga hikmah yang didapat dari suatu kejadian di dunia ini, baik bersifat nasehat, renungan, syukur, maupun what-if-scenario.

Episode kali ini aku mau bahas tentang sebuah keanehan dari sebuah varian sirup yang berbeda dengan biasanya, yaitu sirup leci berwarna hijau. Fenomena ini sebenarnya hanya pabrik yang tahu, namun terkadang kita salah mengartikan fenomena ini sebagai sebuah judge tanpa alasan. Maka dari itulah kita wajib untuk mengenal ciri-ciri suatu fenomena tersebut.

Jangan lupa like, share, dan subscribe untuk video yang lainnya!

Salam Roti!
- Roti

-------------------------------------------
Jangan lupa add akunku yang lainnya ya =)
FB: facebook.com/ridhospasop
Fanpage: facebook.com/ridhopasopati
Twitter: twitter.com/ridhos_pasop
Ask.fm: ask.fm/ridhos_pasop
Instagram: instagram.com/ridhos_pasop
Soundcloud: soundcloud.com/ridhos_pasop
Medium: medium.com/@ridho.pasopati

Line: @ridhos_pasop
OA: @yjs6997c

Blog: ridhospasop.blogspot.com
Project: rhotchiproduction.blogspot.com

Youtube Channel:
Ridho Pasopati
Turotial (Tutorial Roti)
Roti's Gaming
Roti's Life in Action

Sabtu, 28 November 2020

Memaknai Kekurangan dan Kesalahan Rasulullah SAW

================================================


"... Bro, dengerin! Rasulullah saja pernah berbuat salah," celetuk salah satu sahabatku lulusan sekolah Islami ketika dia mencoba menenangkan sahabatku yang lainnya yang sedang berjuang melawan penyakitnya.


Mungkin pas kamu baca judul ini, pasti kamu akan bertanya-tanya. Eh jika kamu golongan itu sih bakal menilai pos ini "menghina" Rasulullah SAW. Nah makanya aku pengen coba kita sama-sama memaknai maksud dari pernyataan ini. Pernyataan ini sebenernya juga bikin aku geregetan ketika seorang ustadz/ulama saat berceramah TIDAK BOLEH mengungkapkan kekurangan Rasulullah SAW. Aku menyimpulkan ini karena salah satu ustadz dari golongan tertentu pernah hampir kena pasal penistaan agama, cuman karena menyatakan bahwa Rasulullah SAW itu manusia biasa. Salah satu ustadz terkemuka aja pernah didakwa dengan pasal yang sama cuman karena ngomong "Allah punya hak prerogatif", which leads us ke pernyataan "Rasulullah bisa saja masuk neraka".


Tapi pernahkah kita memaknai kekurangan dan kesalahan Rasulullah SAW? Jangan-jangan karena kita terlalu suka mendengarkan kelebihan-kelebihan Rasulullah SAW, akhirnya pas ada orang yang bilang seperti hal di atas kita kebakaran jenggot, eh rambut kepala.


------------

Asumsikan kamu mau beli handphone. Hal pertama apa yang membuatmu nge-hook (tertarik) untuk beli suatu jenis handphone? Nggak mungkin kan kamu beli handphone karena kekurangannya? Pasti kamu beli handphone sesuai spesifikasi dan kelebihannya. Di mana kamu tau informasi ini? Pastinya dari iklan, sales, atau penjaga counter di sana, bukan? Atau mungkin saja dari tetanggamu yang suka nanyain kamu "sudah nikah belum" wkwkwk. Pernahkah mereka kasih tau kekurangan barang yang dia jual? JARANG! Kalo iya mah barang dagangannya kagak laku.


Tapi coba bandingin kamu beli handphone dari orang-orang tadi dengan reviewer jujur (bukan endorse), lebih puas mana? Reviewer jujur itu seseorang yang nge-review dari kelebihannya hingga kelemahannya.


Setelah kupikir-pikir, dosen juga seperti itu ya wkwkwk. Aku jarang banget dapet mata kuliah yang membahas sisi gelap jurusan matematika wkwkwk.


Analogi tadi sama banget seperti ustadz-ustadz yang suka ceramah. Selama aku dateng ke banyak kajian dan ceramah, banyak banget materi yang disampaikan selalu membahas tentang indahnya Rasulullah SAW dan Islam itu sendiri. Kalo membahas kekurangan si tidak pernah secara gamblang dibicarakan. Paling mentok si cuman nyeletuk sepatah kata aja, tapi terus yaudah. Tujuannya apa? Agar kita sebagai seorang muslim itu BANGGA punya Rasulullah SAW yang udah maksum (pake ejaan Indonesia ya), panutan umat Islam, pokoknya the hero of Islam. Loh kamu harus bangga punya panutan yang kelebihannya melewati seisi bumi wkwk.


Tapi pernah kepikiran nggak setelah kamu mengenyam Islam sampai detik ini, khusus kamu yang memeluk Islam, pernahkah Rasulullah SAW melakukan kesalahan atau memperlihatkan kekurangan beliau?


Sebelum lanjut, kamu harus yakin dulu dengan ke-Islam-an kamu. Kalo nggak yakin, yaudah nih semuanya tanggung jawab masing-masing.


Salah satu keagungan dari Rasulullah SAW yang selama ini aku dapatkan dari kajian, pelajaran agama, dan kehidupan yang selama ini aku lalui adalah bagaimana RASULULLAH SAW MENYADARI KEKURANGAN DAN KESALAHANNYA. Kekurangannya? Ketika piagam Madinah dibuat, Rasulullah SAW menyuruh Ali bin Abi Thalib ra. untuk menulis dan membantu beliau menandatangani piagam tersebut. Hayo kenapa? Ternyata sudah di-state saat awal kamu belajar agama Islam di sekolah bahwa Rasulullah SAW buta huruf! Karena mengerti kekurangan beliau, beliau mengutus Ali bin Abi Thalib untuk menulis! Dan memang setelah aku baca semuanya, Ali bin Abi Thalib ini salah satu orang spesial. Belum lagi kita bicara kekayaan Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Umar bin Khattab yang mana diceritakan sekali sedekah itu bisa ngabisin milyaran kalo diitung saat ini!


Apakah Rasulullah SAW pernah mengulik masa lalu Umar bin Khattab? Tidak.

Apakah Rasulullah SAW pernah menyalahkan Abu Bakar Ash-Shiddiq ketika melakukan kesalahan? Tidak.

Kalo zaman sekarang, kamu sedekah sedikit aja orang lain bicara tentang kesalahan, kekurangan, dan masa lalu kamu.


Apakah Rasulullah SAW pernah melakukan kesalahan? Pernah! Ketika shalat maghrib aja pernah shalat 4 rakaat! Terus bedanya sama kita apa? Setiap kali Rasulullah SAW melakukan kesalahan, selalu ada sesuatu yang membuatnya ingat. Rasulullah SAW marah, Allah SWT mengingatkan. Rasulullah SAW melakukan kesalahan jumlah rakaat, makmumnya ngingetin. Bahkan ketika orang lain melakukan kesalahan, Rasulullah SAW menegur mereka tanpa harus marah.

Kalo zaman sekarang, kamu salah sedikit aja dimarahinnya sampe kamu nangis. Kalo nggak nangis, bikin kamu nggak nyaman. Belum lagi diungkit terus.


Jadi makna tulisan ini apa?


Rasulullah SAW secara implisit mengajarkan kita untuk mengetahui kekurangan dan kesalahan orang, tetapi bukan untuk menjatuhkan dan merusak moral mereka. Bahkan ketika kita merasa kita punya kekurangan dan kesalahan, Rasulullah SAW mengajarkan kita untuk memahami kesalahan dan tidak mengulanginya di lain waktu. Diingetin ya didengerin, kata orang mah. Tapi coba baca lagi sirah nabawiyah, cara ngingetinnya itu TANPA JUDGE, dan berhubungan tentang hal yang sudah jelas yang benar itu yang seperti apa. Kadang aku nemu orang yang ngingetin aku untuk nggak boleh baca Al-Quran di samping orang yang shalat, padahal suaranya aja nggak keluar dari mulut.


Di akhir cerita, terkadang kita ini pengen jadi yang lebih baik daripada Rasulullah SAW. Kok bisa? Rasulullah SAW nggak pernah ngungkit kesalahan dan kekurangan orang. Kalopun salah, beliau menegur dengan lembut. Masa kita melebihi apa yang dulu dilakukan Rasulullah SAW, padahal secara akhlaq saja kita nggak akan setara dengan Rasulullah SAW dan sahabatnya? Atau jangan-jangan, kita ini cuman pengen terlihat baik di mata orang? Atau jangan-jangan kita ini lagi bawa "misi" seseorang agar kita jadi yang terbaik?


Inget, hewan dan tumbuhan memahami kekurangannya sehingga mereka paham posisi mereka di ekosistem seperti apa. Inget, manusia juga bisa salah, walaupun dia perfeksionis. Jadilah manusia seutuhnya dan memanusiakan manusia.

Rabu, 04 November 2020

Words Can Hurt Feeling

 "Words can hurt feeling."


Mungkin kita sendiri nggak sadar bahwa kata-kata itu dapat menyakiti perasaan orang lain. Gimana mau sadar, wong kita aja mikirnya, "alah paling nggak nyakitin lah, masa gini doang nyakitin." Entah kita mikirnya tentang kejujuran atau kebenaran, padahal nggak semua orang bisa menerima apa yang kita katakan.


Hayo bener nggak?


Tapi sekarang pake sudut pandang orang lain, emang kita tau sejauh apa? Misalnya aja ada temen lagi depresi terus pengen bunuh diri. Yang kita tau paling kan sejauh "bunuh diri itu dosa". Mana mungkin kita tau masalah pribadinya atau masalah dengan orang lain. Belum tentu juga dia mau cerita masalahnya. Pikirannya juga banyak, entah dia nggak mau, nggak trusted (udah kek aplikasi software wkwkwk), takut cuman bagi cerita aja, atau lain-lain.


Takutnya tiba-tiba kita asal claim aja masalahnya terus yodah kita ngasal ngasih sarannya.


Words can hurt feeling. Kata-kata dapat melukai perasaan.


Kasus yang sekarang terjadi adalah contoh nyata kalimat di atas. Kasus mana? Yang itu tuh sampe seluruh dunia mengecam. Banyak orang nggak sadar bahwa kasus yang terjadi itu bukan karena dibebaskannya berbicara di depan publik; tetapi karena tidak paham kata-katanya dapat melukai perasaan orang lain. Lah wong obrolan nggak bebas (re: dibatasi) aja dapat melukai perasaan (contohnya tuh ngomong nikah kapan, punya anak berapa, dll), apalagi yang dibebasin sebebas-bebasnya. Lah sekarang dasarnya aja (sebagian orang) nggak tau, yo pantes lah reaksinya beda-beda. Marah yo wajar, nggak marah yo wajar. Eh malah gelut sendiri dan mengatakan ini kasus sensitif.


La wong dasarnya aja nggak tau.

Words can hurt feeling. Kata-kata dapat melukai perasaan.


Reaksi orang berbeda-beda itu wajar. Tapi pas nggak tau dasarnya, akibatnya dasar teori orang-orang menjadi reaksi tadi. Misalnya kalo kita dibilang "b*j*ng*n" sama orang yang nggak dikenal, terus kita marah. Yo wis to wajar kan? Hla wong tau-tau kok dibilang gituan. Nek nggak marah yo wajar to? Hla wong nggak kenal juga, anggep aja nggak perlu dipikirin juga. Tapi karena nggak ngerti dasar tadi, yowis akhirnya terpatri di otak itu


"nek kita dihina, kita harus (reaksi)."


Harusnya yang bener itu,


"Words can hurt feeling. Kata-kata dapat melukai perasaan. Menghina adalah contoh kata-kata yang melukai perasaan. Jadi (reaksi; tidak hanya marah/diam, tetapi juga bahan pembelajaran)."


Penutup, sedih nggak sih harusnya kita bisa satu suara untuk mengecam perbuatan apapun yang dapat melukai perasaan, eh malah di tubuh sendiri masih aja saling menjatuhkan karena perbedaan reaksi. Yo jelas lah dasarnya aja nggak paham, gimana mau sejalan. Kalo dasarnya udah ngerti, pasti kita udah sefrekuensi ngomonginnya, "mengecam perbuatan apapun yang dapat melukai perasaan". Yah mau gimana lagi, gampang dilupain. Dapet pembelajaran nggak, lepas emosi iya.


Mbok hayo to sekarang coba kita pilah dan pilih mana yang dapat melukai orang, mana yang nggak. Kita kadang nggak tau bisa jadi yang kita omongin dapat melukai perasaan. Tapi semua ini dapat dikomunikasikan kok. Cuman harusnya tau dong manner-nya seperti apa, basic ethics-nya seperti apa, dll. Tapi gimana lagi ya, mosok rekomendasi pos/tweet aja isinya emosi dulu baru dasarnya. Meh sampe aku nikahin 4 istri juga nggak dibaca to wkwkwk.


Yowis ya bye-bye~


#KomunikasiHarmoni

#SupportInitiator

#OurStruggle

Senin, 15 Juni 2020

POLES KACA - EPISODE 0: DIBALIK PASOP MENULIS





Sebenernya males komentarin sih wkwk



Halo semua!



Selamat datang di podcast yang tidak punya makna, tidak punya inti, dan tidak punya tujuan karena podcasts ini hanya akan mengurangi IQ Anda dan mengurangi kejeniusan Anda. Haha!



Tidak ding, bercanda~



Jadi di POLES KACA ini akan ada bermacam-macam podcasts yang berisi tentang hal-hal apa saja yang terjadi di dunia ini mulai dari pengalaman pribadi hingga hikmah yang didapat dari suatu kejadian di dunia ini, baik bersifat nasehat, renungan, syukur, maupun what-if-scenario.



Episode kali ini kita kenalan dulu yeukan? Paling juga kenalannya nggak bikin kenal wkwk



Jangan lupa like, share, dan subscribe untuk video yang lainnya!



Salam Roti!

- Roti



-------------------------------------------

Jangan lupa add akunku yang lainnya ya =)

FB: facebook.com/ridhospasop

Fanpage: facebook.com/ridhopasopati

Twitter: twitter.com/ridhos_pasop

Ask.fm: ask.fm/ridhos_pasop

Instagram: instagram.com/ridhos_pasop

Soundcloud: soundcloud.com/ridhos_pasop

Medium: medium.com/@ridho.pasopati



Line: @ridhos_pasop

OA: @yjs6997c



Blog: ridhospasop.blogspot.com

Project: rhotchiproduction.blogspot.com



Youtube Channel:

Ridho Pasopati

Turotial (Tutorial Roti)

Roti's Gaming

Roti's Life in Action

Sabtu, 09 Mei 2020

Ketika Rindu Temporer Menjadi Rindu Abadi (Tribute to Didi Kempot)

Nunut ngiyup, kula nunut ngiyup.
Udan lali ora nggawa payung.
Teng tritis kulo nggih purun
Teng emper kulo nggih purun
Sak derenge matur nuwun
- Nunut Ngiyup, Didi Kempot

Mungkin aku kaget bukan main ketika pagi ini salah satu rekan kerja berkata bahwa (alm.) Didi Kempot (aku panggil beliau Pakde Didi) meninggal. Mengapa? Pertama, umur beliau lebih muda daripada bapak saya (nggak penting ya wkwk). Kedua, beliau sering diisukan dengan faktor usia sehingga kabar seperti itu selalu dihempas ke permukaan layaknya isu kematian Jackie Chan. Ketiga, posisi beliau yang sampai berita tersebut muncul tidak pernah aku ketahui; entah di Solo atau di Jakarta atau mungkin manggung di suatu tempat. Cukup kali ya, males nanti bacanya wkwk. Pakde Didi akhirnya benar-benar dikabarkan meninggalkan para penggemarnya sekaligus pertunjukan di dunianya pagi ini (saat tulisan ini ditulis, 5 Mei 2020). Sontak tangisan sobat ambyar (nama penggemar fanatik garis keras beliau) memenuhi media sosial, hingga banyak orang yang turut mengucapkan belasungkawa, termasuk beberapa gamers (yang saya lihat tidak terlalu tahu tentang beliau). Bahkan, pemakaman almarhum diiringi oleh beberapa mobil hingga kedatangan Pak Rudy selaku walikota Surakarta dan Pak Ganjar selaku gubernur Jawa Tengah. Mungkin kalo di Dota, level beliau bukan lagi "Legend" atau legenda; tetapi Ancient bahkan Immortal: tingkat paripurna permusikan, alias kalo aku nyebutnya "seniman bukan kaleng-kaleng". Tidak hanya itu, satu hal yang bikin aku (dan mungkin orang-orang yang mengaguminya) terharu sekaligus sedih adalah "rindu yang awalnya temporer akhirnya menjadi abadi" dan semuanya lewat lagu beliau.

Secara singkat aku ini bukan "Kempoters" (penggemar garis keras tapi generasi tua ini wkwk) atau "Sobat Ambyar". Aku tidak suka fanatik berlebihan :). Aku tahu lagu beliau sejak kecil, mungkin antara TK sampai SD. Lagu yang paling mengena saat itu adalah "Nunut Ngiyup" selain "Stasiun Balapan" dan "Kuncung". Selain lagu ini asik, ternyata lagu ini penuh makna (bagiku wkwk). Oke nanti dijelaskan di bawah. Singkat cerita video klip paling mengena bagiku adalah video klip "Sewu Kutha". Katanya sih bikinnya pas di Tawangmangu. Karena lagu ini, ada satu mimpi yang selalu aku ingat sampai sekarang, yaitu jalan-jalan ke Tawangmangu hingga adanya stasiun kereta api (efek dari video klip "Stasiun Balapan") di tempat tersebut, meskipun faktanya tidak ada (dan tidak pernah ada). Akhirnya beberapa lagu beliau mengisi hampir sebagian besar playlist-ku ketika mendengarkan lagu. Hal ini terus aku bawa hingga SMA sampai kuliah meskipun waktu kuliah aku jarang mendengarkan karena tergerus dengan suasana di Bandung kala itu. Sebelum beliau tutup usia, aku sempat mendengarkan beberapa lagu baru beliau seperti "Banyu Langit", "Pantai Klayar", hingga "Ambyar", "Tatu", dan lagu terakhir: "Aja Mudik" bersama walikota Surakarta, Pak Rudy.

Kata bapak, aku pernah bertemu dengan beliau saat makan di Solo Grand Mall. Saat itu aku sangat takut (karena belum pernah ketemu beliau dan aku kan orangnya lupa sama wajah orang wkwk). Maklum, aku masih kelas 2-3 SD (lupa kapannya wkwk). Saat itu aku bertemu dengan grup beliau (semua orang yang ada di video klip "Kuncung", namanya siapa takut salah sebut). Rumah beliau dekat dengan rumahku, meskipun cuman beda sekitar 3 kelurahan saja ke Barat wkwk. Harusnya aku bisa bertemu dengan beliau wkwk. Apa daya saat ada kesempatan bertemu saat beliau diperkenalkan kembali oleh mas Gofar Hilman aku nggak pernah bisa datang. Sekalinya ada kesempatan, malah penuh sesak nggak seperti zaman dulu. Alhasil ketika beliau manggung di Benteng Vastenburg akhir tahun lalu silam, aku (dan kakakku bersama temannya) hanya bisa mendengar beliau menyanyi di luar benteng. Masih banyak lagi kesempatan-kesempatan bisa bertemu beliau ketika manggung, tetapi sampai beliau pergi jadi nggak kesampaian. Huhu...

Nah sekarang, apa yang aku kagumi dari beliau?

Beliau ini ciri khas orang Solo asli, menurut sebagian besar orang yang lahir di Solo yang aku temui, termasuk generasi tua. Bagiku, beliau ini mirip dengan bapakku dari segi semuanya kecuali interest. Bapak selalu mengajariku hidup sederhana, selalu baik kepada orang lain, hingga memanusiakan manusia. Tidak jauh beda dengan Pakde Didi. Beliau ini hidup sederhana (aku jarang melihat beliau naik mobil nyetir sendiri atau disupirin sama supir pribadi). Bahkan setiap kali beliau bercerita tentang selalu datang naik sepeda di saat zaman itu beliau bisa beli motor, aku selalu berpikir dan bertanya, "mengapa beliau setidaknya beli motor dulu selagi nggak ada job manggung". Hal ini yang membuatku semakin paham dengan karakter beliau. Terlebih lagi beliau berhasil mengadakan konser amal hingga mengumpulkan donasi mencapai 9 miliar! Itu kalo dibelikan masker hasil timbunan, bisa abis semua timbunannya. Selain itu, aku lihat beliau ini orang yang jenaka. Jokes beliau ini sekelas jokes anak muda dan generasi 80-an pada umumnya dan umurnya. Ciri khas inilah yang membuat kita lebih mengenal seorang pakde Didi yang cukup humble. Menurut penuturan orang-orang, beliau inilah salah satu contoh orang "ngajeni" dengan bahasa kramanya kepada orang yang tidak dikenal. Hal ini sudah hilang tergerus oleh zaman karena zaman sekarang membenci strata sosial.

Namun, satu hal yang aku suka dari beliau: nguri-uri budaya. Beliau memperkenalkan lagu jawa dengan genre dangdut campursari kepada khalayak publik. Tidak hanya orang Jawa yang menyukai lagu beliau, tetapi juga beberapa daerah lainnya. Hal ini bisa dibuktikan dari beberapa temen Sundaku yang menyukai lagu beliau dan saat "ngobam" bersama mas Gofar, ada seorang mahasiswa Lampung yang kuliah di Solo menggemari lagu beliau. Mungkin saja aku bisa bilang beliau bisa menjadi orang terakhir penerus genre campursari. But I don't know the fact.

Cukup cerita beliau. Sekarang seperti inilah aku memaknai lagu-lagu beliau. Mungkin pemaknaan setiap orang berbeda, jadi jangan disatukan tafsirnya.

Ku buka pemaknaan lagu beliau lewat lagu "Nunut Ngiyup" di awal tulisan ini. Secara gamblang, lagu ini memang mengisahkan tentang seseorang yang terjebak lebatnya hujan di rumah seseorang dan dia memohon izin kepada pemilik rumah untuk berhenti dan beristirahat. Di sini kita diajarkan sebuah adab bahwa kita wajib meminta izin kepada pemilik jika kita menggunakan barang milik orang lain. Adab ini ternyata sudah mulai luntur di masyarakat, apalagi pandemi COVID-19. Banyak orang yang menggunakan fasilitas orang lain tanpa memberitahu kepada pemiliknya kapan dan barang apa yang dipakai. Nah sekarang dari sisiku. Kita hidup di dunia ini penuh dengan masalah (hujan). Terkadang kita menghadapi masalah yang cukup besar, namun kita tidak tahu solusi apa yang kita bisa berikan (payung). Pastinya kita mencari cara untuk menyelesaikan masalah tersebut, meskipun kita tidak tahu bagaimana caranya. Kalo orang baru jalan misalnya, pastinya semisal dia tidak membawa jas hujan ya dia mampir ke suatu tempat untuk berteduh. Unggah-ungguhnya, kita meminta izin kepada pemilik tempat untuk berhenti meneduh. Tapi inget juga kalo belum tentu kita diberi jas hujan atau payung di tempat kita berteduh. Maka dari itulah kita cukup berhenti sejenak dan beristirahat. Kadang kita punya masalah yang serius dan besar, tetapi kita tidak tahu bagaimana menyelesaikannya. Kadang kita butuh tempat untuk bercerita dan meluapkan emosi (nggak cuman marah doang ya wkwk). Kadang juga tempat kita bercerita tidak mampu memberikan solusi. Terus? Cukuplah kita berhenti sejenak dan bercerita. Let it go istilahnya dan nanti pasti masalah akan berlalu.

Salah satu lagu pakde Didi yang paling aku suka adalah "Sewu Kutha". Lagu ini terinspirasi dari (alm) Arie Wibowo yang berjudul "Walau Sekejap" karena pakde Didi suka dengan lagu tersebut. Kemudian beliau menerjemahkan lagu "Walau Sekejap" menjadi lagu berbahasa Jawa dan dipersembahkan untuk Arie Wibowo. Mengapa lagu ini menjadi favoritku? Karena lagu ini memang menggambarkan bagaimana cara aku mencari jodohku (wkwk) di dunia ini. Bedanya, orangnya belum ketauan wkwk. "Sewu kutha wis tak liwati, sewu ati tak takoni"; ribuan kota sudah kulalui dan ribuan hati sudah kucicipi. Ternyata, mereka semuanya tidak mengerti keberadaan jodohku saat. Di sinilah aku terus menunggunya meskipun bertahun-tahun aku mencari dan menunggunya. Kembali lagi, namanya juga pemaknaan, jadi bisa berbeda-beda.

Oke aku ambil contoh lagu terakhir yaitu Suket Teki dan Ban Serep. Dua lagu ini aku bisa bilang cukup unik, karena hubungan cinta bisa diumpamakan sebuah rumput teki dan sebuah ban cadangan. Tidak hanya itu, dua lagu ini mengajarkan kepada kita sebuah nilai sosial yang bagus, bisa dibilang cukup indah. "Wong salah ora gelem ngaku salah, suwe-suwe sapa wonge sing betah," orang bersalah namun tidak mengaku bersalah, lama-lama siapa yang betah. Itu fakta, karena membangun hubungan haruslah bersifat profesional dan saling memahami satu sama lain. Sekali ada ketidaksetimbangan, maka akan terus terjadi ketidaksetimbangan. Kemudian satu kalimat kunci dari Ban Serep, "janjimu kaya panganan: esuk soto sore rendang. Katresnan dudu onderdil, nggumun gampang ditempil." Janjimu seperti makanan, paginya soto sorenya rendang (maknanya adalah janji enak yang berbeda). Kemudian ditutup dengan cinta bukanlah sebuah onderdil yang gampang diganti atau disingkirkan. Noh, apa nggak bikin ambyar, apalagi orang-orang yang masih dalam tahap pacaran. Jarang ada pasangan yang diduakan, apalagi masalah kepercayaan. Bahkan Tuhan saja tidak mau diduakan. Masa kamu mau menduakan seseorang hanya karena takut hubunganmu nggak jalan dengan salah satunya? Kan lucu.

Oke daripada aku makin ngawur bikin maknanya (karena dari awal udah aku tulis versiku wkwk), sekarang aku mau bikin penutupnya. Di sinilah titik puncak "sobat ambyar" atau "kempoters" merindukan pakde Didi Kempot. Semoga Allah memberikan beliau tempat yang terbaik, karena pakde Didi menurut saya sudah memberikan teladan yang cukup baik. Beliau pernah melakukan kesalahan, namun beliau mau memperbaiki kesalahan tersebut sehingga detik ini beliau menjadi legenda bagi orang-orang sekitar. Bahkan walikota dan gubernur mau datang ke pemakaman beliau. Tidak hanya itu sebenarnya, beliau memberikan contoh perjuangan yang terbaik. Dalam konsep Islam pun tidak ada kata menyerah sampai memang menurut hati manusia, "oke ini hanya Allah yang mampu mengubahnya". Beliau ditolak berkali-kali di banyak studio rekaman, namun akhirnya beliau sering diundang ke Suriname (karena mayoritas penduduknya adalah orang Jawa) dan beberapa kesempatan ke Belanda. Beliau juga mengajarkan untuk beramal (bukti ini ada pada karya-karya beliau yang di-cover sampai diperkenalkan oleh orang lain tanpa izin namun beliau tidak memarahinya) dan rendah hati. Mengapa kita harus menanyakan agama beliau kalau menjadi manusia tidak harus menjadi Islam?

Penutup, kita ingat bahwa sang maestro menciptakan semua lagunya bagi sobat-sobat yang ambyar karena galau dengan pacarnya. Sang maestro menciptakan lagu ini karena masa lalu beliau yang ternyata setiap momennya tercakup di dalam setiap lagu-lagunya. Bayangin aja nungguin pacar di Terminal Tirtonadi, Tanjung Mas, sampai Stasiun Balapan; kurang kerad apasi Pakde Didi ini? Setiap tumbuhan dan hewan pun beliau jadikan sebuah perumpamaan dalam menggambarkan kegalauannya. Rumput teki buat gambarin janji palsu seseorang, jambu alas buat gambarin ngodein gebetan, sampe paling imbanya ban serep buat gambarin diduain sama orang. Kurang bagus apa coba.

Sang maestro mengajarkan kita untuk menangisi keadaan dengan berjoget dan merayakannya dengan senang dan ceria, sekarang beliau mengajarkan kita untuk menikmati kerinduan abadi. Awalnya sang maestro mencontohkan bagaimana beliau mengungkapkan rindu kepada sang kekasih kepada kita, akhirnya sang maestro memaksa kita untuk mengungkapkan rindu yang takkan berbalas kepadanya. Lirik Stasiun Balapan karya sang maestro yang awalnya untuk kekasihnya sekarang pun menjadi ucapan perpisahan sobat ambyar kepada sang maestro, "Daa... Dada maestro... Daa... Selamat Jalan...". Sambung lagi Banyu Langit yang "janjine lungane ora nganti suwe-suwe; pamit esuk lungane mulih ora nganti sore" menjadi pamit lunga ora ngerti mulihe kapan. Justru sekarang ditutup dengan Layang Kangen bahwa sang maestro sudah memiliki sayap (swiwi) dan pulang (ke akhirat) menemui sang kekasih (andaikata sudah di surga).

Selamat jalan, sang Maestro!
Terima kasih sudah memberikan banyak pelajaran hidup kepada kami semuanya, terkhusus aku dan sekeluarga karena dari kecil hidup di alunan lagu Jawa dan keroncong dangdut campursarimu. Kali ini sematan "rindu temporer" telah berubah menjadi "rindu abadi".

Jumat, 10 April 2020

Nggak Nyamperin Masjid Karena Corona, Yakin?

Aku dedikasikan tulisan ini untuk salah satu kakak tingkatku Kang Giffari Alfarizy karena di saat aku pengen nulis ini, beliau sudah menulis tentang keluh kesah yang sama. Tujuannya sama lagi. Jadi biar nggak dibilang plagiat, aku berterima kasih dulu. Mungkin saja beberapa orang yang membaca tulisan ini juga berpendapat hal yang sama karena hipotesaku orang-orang yang menulis ini belum tentu orang yang punya latar belakang agama yang luas dan bermacam-macam. Mungkin saja dia memang memiliki wawasan yang luas, namun ternyata ada "kepentingan" dibalik kata-katanya. Maka dari itu aku mengajak para pembaca untuk mendengungkan hal yang seharusnya menjadi benar di dunia ini.

Baiklah aku mulai.

=======================================================

Beberapa waktu yang lalu (tepatnya sehari sebelum tulisan ini terbit), saya menemukan satu untaian kata yang saya bisa katakan "menyesatkan", padahal berbau agama dan itu harusnya benar. Penjelasan akan saya jabarkan di bawah tanpa mengambil teori. Mengapa? Teorinya nanti bisa pembaca dapatkan dengan mencarinya di mesin pencari di internet. Tulisannya seperti apa?

"Pergi ke mall saja berani; pergi ke pasar saja berani; pergi ke mana-mana saja berani; tapi pergi ke masjid saja takut corona."

Renungan bukan? Loh harusnya kita (orang muslim) berani pergi ke masjid dan takut pergi ke tempat lainnya, dengan alasan apapun. Mengapa ini terbalik? Atau jangan-jangan kita yang disinggung oleh orang yang menulis tulisan tersebut adalah orang-orang yang takut sama Virus Corona dibandingkan Allah?

-----------------------------------------------------------------------------------------

Apakah itu virus Corona?

Virus Corona ini adalah sebuah virus baru yang bermutasi, muncul mulai tahun 2019 akhir hingga sampai saat tulisan ini terbit, vaksin belum muncul dan masih menjadi pandemi di dunia. Jika pembaca ingin mengetahui lebih lanjut, sila pembaca mencari tahu di mesin pencari. Namun, saya tidak ingin membahas definisi atau teori dasarnya. Saya ingin menuliskan beberapa hal yang penting.

Virus Corona ini bukan tipe virus buatan. Virus ini mungkin bisa dibuat, namun konsekuensinya adalah pembuatnya pasti juga terkena virusnya. Mungkin loh ya. Namun banyak orang mengatakan bahwa virus ini sudah bermutasi. Mengerikan? Justru yang mengerikan bukanlah hal tersebut. Virus ini ternyata mampu menjangkit lebih dari 1 juta orang dalam kurun waktu 4 bulan 10 hari sejak kasus pertama muncul (belum tentu orang pertama yang terjangkit). Kalau pembaca hitung, maka terdapat kira-kira 7.693 orang per hari, atau 321 orang per jam, atau 6 orang tiap menitnya. Ini masih hitungan kasar, karena menurut teori, kemungkinan akan mengikuti distribusi normal, which is akan mencapai puncaknya di suatu titik hingga kemudian turun (tren mulai menurun). Oke seperti yang saya sampaikan, teori bisa pembaca cari di mesin pencari. Namun coba interpretasikan angka 6 orang tiap menit. Rata-rata satu keluarga terdiri dari 4 orang. Berarti 6 orang tiap menit bisa dikatakan 1 keluarga ditambah 2 orang yang dekat dengan keluarga tersebut. Justru inilah mengapa kecepatan penyebarannya cukup tinggi.

Apa yang dikhawatirkan oleh sebagian besar penduduk di dunia? Obatnya belum ketemu, tetapi efeknya cukup mengerikan. Beberapa penelitian menyebutkan salah satu dampak terburuknya adalah berkurangnya fungsi pernafasan hingga 20%. Bahkan kematian terbesar dialami oleh orang-orang yang lanjut usia dan memiliki penyakit komplikasi terutama penyakit pernafasan.

Shalat di Masjid itu Wajib, Tau!

Kalo aku disuruh marketing atau kampanye shalat di masjid adalah hal yang wajib, sorry to say banget aku nggak mau. Bukannya karena aku nggak suka atau liberalis, tapi aku akan paparkan banyak alasannya.

Pertama, janji orang yang shalat di masjid itu 27 derajat lebih tinggi daripada shalat di rumah (entah kali lipat atau cuman lebih tinggi). Jadi misalkan kita shalat di rumah dinilai 20, maka dengan kualitas shalat yang sama tapi kita melakukannya di masjid (dan mengikuti imam tentunya) akan mendapatkan 27 derajat lebih tinggi, yaitu mungkin 540 atau 47 pahala. Andaikan kita berbuat keburukan dengan nilai dosa 1 saja, maka kita butuh 540 dosa atau 47 dosa untuk menghapus 1 pahala karena shalat di masjid. Ini yang selama ini aku pegang.

Kedua, beberapa hadits mengatakan bahwa Rasul tidak menyukai (bahkan sampai membakar rumah) laki-laki yang tidak datang ke masjid. Oke pemahamanku bukan ke tingkat dhaif atau shahih-nya hadits ini, tetapi aku pakai pemahamanku berdasarkan dimensi ruang dan waktu. Kemungkinan besar hadits ini muncul setelah Fathul Mekkah, atau mungkin saja saat di Madinah namun dalam suatu daerah (kalo kita nyebutnya kelurahan atau kecamatan). Mengapa? Andai Rasul benar melakukannya, maka Rasul hanya bisa menandai rumah kaum muslimin pada saat yang aku sebutkan (kecuali jika Rasul memang hafal rumah kaum muslimin saat itu). Namun, titik beratku ada pada jumlah kaum muslimin yang belum mencapai ribuan. Bahkan menurut kisah, masjid Nabawi dulu hanya sebesar rumah tipe 36. Berarti jemaah yang datang sekitar 100-200 orang. Ke mana sisanya? Atau memang zaman itu hanya segitu? Kalo kita bicara Fathul Mekkah, mungkin saja kita akan menduga shalat didirikan di masjid Haram (inget zaman dulu hanya 1 lantai saja). Menurut perkiraanku dengan kondisi di atas, kemungkinan jamaah yang datang sekitar 500-1.000 orang. Belum lagi kapan Rasul melakukannya dan seberapa sering. Andai Rasul terus melakukannya, berarti Rasul jarang mendirikan shalat berjamaah, atau memang Allah memberi mukjizat kepada Rasul untuk mengetahui siapa yang tidak datang ke masjid. Wallahu a'lam. Namun intinya bukan mewajibkan shalat di masjid, melainkan penekanan bahwa shalat di masjid secara berjamaah itu lebih baik dan sangat dianjurkan. Jadi sekadar himbauan.

Nah ini kan alasan yang biasa dipakai untuk mewajibkan pergi ke masjid. Mengapa aku nggak mau? Alasannya adalah banyak hal yang disembunyikan dari kampanye (atau propaganda sebut saja deh haha). Pertama apakah wajib bagi seluruh laki-laki? Ternyata tidak (salah satu contohnya adalah ketika aku kena cacar air). Propaganda mengatakan hal tersebut wajib, padahal seharusnya "sangat dianjurkan dan disarankan jika tidak ada udzur". Hal tersebut berbeda dari segi makna. Kedua, akibatnya apa? Anak-anak masuk masjid tanpa pengawasan. Aku mengalami hal seperti ini sejak aku mencoba shalat di masjid perumahan. Akibatnya apa mengapa aku khawatir tentang hal ini? Setelah selesai, mereka langsung saja keluar. Bener ini! Belum lagi ngobrol di teras masjid (belum keluar masjid ini). Okelah kalo ngobrolin tentang mainan sih nggak masalah. Tapi ngobrolinnya tentang "eh kamu tadi batal shalatnya loh...". Pertama, oke kalo itu tujuannya mengingatkan. Tapi mereka masih kecil, nggak tahu segalanya tentang batalnya shalat. Kok udah jadi ulama ya? Atau jadi Tuhan deh (soalnya aku tau yang ngomong itu juga batal shalatnya, eh salah harusnya tidak sempurna shalatnya)? Kedua, kalo ngajarin anak, oke deh aku setuju. Tapi coba tadi aku bilang apa: nggak ada yang mendampingi. Oke kalo misalkan untuk orang tua? Banyak sekali orang-orang yang shalat, namun tidak membersihkan dirinya dan tidak memakai wewangian. Berapa banyak? Aku sering. Bahkan pernah aku menahan nafas dari awal shalat sampai salam. Padahal hal tersebut dibilang sunah. Lah kok lucu? Bukannya shalat itu adabnya tidak boleh mengganggu orang lain juga? Pastinya ini juga salahnya mereka-mereka, bukan? Tetapi penyampaiannya seperti apa?

Maka dari itu mengapa aku bilang lebih baik pendakwah mengatakan "sangat dianjurkan dan disarankan jika tidak ada udzur" dibandingkan wajib. Ketika kita bilang "kamu ada udzur", kita bisa berikan solusinya. Coba kalo kita bilang "wajib". Maka kita hanya menyuruh mereka datang instead of melihat kondisinya dia. Di sinilah muncul glorifikasi dari orang-orang yang punya udzur untuk orang-orang tertentu (termasuk propaganda tadi ya wkwk). Tujuannya? Mengejek secara halus, alias menyindir. Belum lagi beberapa masjid hanya khusus pengikut tertentu. Ini terjadi, bahkan parahnya sampai mengepel jejak kaki orang-orang yang bukan menjadi pengikutnya. Parah nggak sih, ngajakin ke masjid tapi masjid saja dikhususkan bagi orang-orang tertentu? Belum lagi masalah tidak merangkulnya pengurus masjid dengan pendatang (ceritanya ini ada di autobiografiku). Jadi sebenarnya kita ini "memaksa" orang atau sebenarnya serakah dengan surga-Nya? Pastinya tidak semua masjid seperti itu. Namun, menurutku instead of mengajak orang ke masjid, mengapa kita tidak membuat masjid itu tempat dikenang? Atau cuman mau berada di bawah hukum yang nas tanpa memperbaiki diri sendiri?

Pastinya ada beberapa hadits yang secara eksplisit menuliskan kewajiban seorang muslimin pergi ke masjid (terutama laki-laki). Asumsikan saja kita wajib shalat di masjid dan tidak mengikuti apa yang aku katakan. Siapa tau benar.

Takut ke Masjid karena Corona, Ironi?

Menggunakan asumsi kita wajib shalat di masjid, maka setiap orang harus ke masjid. Kita berandai-andai andaikata tidak ada satupun muslimin yang tidak pergi ke masjid. Jadi mengapa takut Corona kalo sebenarnya kita bisa ke masjid?

Mengapa pasar tidak mendengungkan hal yang sama? Orang ke pasar itu cari bahan makanan atau minuman. Selanjutnya tidak ada ikatan hukum tentang prosedur standar ke pasar (ke pasar harus ngapain), sehingga orang bebas pergi ke pasar. Karena tidak ada ikatan hukum juga, maka itu hak mereka mau ke pasar atau nggak. Selanjutnya obyek yang kita cari di pasar tidak selalu hanya tersedia di pasar. Jadi kita bisa beli di tempat lain seperti mall, toko, atau tempat lain. Jika malas? Kita bisa pergi ke rumah makan dan langsung makan di sana. Pastinya orang memahami dirinya jika dia sakit yang parah pasti tidak akan ke sana. Mungkin saja beberapa orang menitipkan belanjaannya kepada orang lain. Mengapa mereka berani ke pasar?

Oke misalnya di suatu kota berpenduduk 10.000 muslim (tanpa ada pemeluk agama lainnya) terdapat 5 masjid, 5 jenis pasar sembako (entah itu berbentuk toko atau pasar), 5 jenis mall, 5 jenis tempat wisata, dan 5 jenis restoran. Diantara penduduk tersebut, 50 orang disabilitas, 100 orang berusia lanjut, dan 100 orang memiliki penyakit (anggap saja Corona). Kita asumsikan tidak ada pembagian gender supaya lebih mudah.

Cerita pertama nih kita wajib pergi ke masjid tepat waktu (sesuai waktu shalat). Kita tidak dianjurkan ke tempat seperti mall, pasar, atau tempat yang lain dan tidak ada ikatan waktu. Asumsikan juga pendistribusian orang-orang khusus tadi secara merata.

Pertanyaan pertama, berapa peluang kita bertemu orang yang memiliki penyakit (anggap saja Corona)?

Jika kita bertemu mereka di masjid (asumsinya distribusi merata), maka dari 10.000 muslim akan ada 2.000 muslim dalam satu masjid dalam satu waktu, terdiri dari 10 orang disabilitas, 20 orang berusia lanjut, dan 20 orang memiliki penyakit. Berarti peluang kita bertemu orang berpenyakit di masjid adalah 20/2.000; atau 1% (0,01). Kalau di tempat lain? Karena mengikuti dimensi waktu, maka kita belum tentu mendapatkan peluang 1% (0,01). Pastinya mereka pergi ke tempat selain masjid mungkin 1 sampai 2 kali sehari (tidak seperti masjid yang bisa 5 kali sehari). Anggap saja mengikuti distribusi normal dengan puncak keramaian jam 9 dan jam 5 sore dengan asumsi distribusi merata dengan puncaknya misalkan saja 1.000 muslim (setengah dari masing-masing kategori). Maka peluang kita akan bertemu dengan orang berpenyakit sebanyak 4/1.000; atau 0,4% (0,004). Kecil bukan? Belum lagi kita kaitkan dengan dimensi ruang dimana luas masjid anggap saja 200 meter persegi. Mau pasar dengan luas berapapun, dia terikat dengan dimensi waktu. Justru itulah yang membuat peluangnya makin kecil.

Jika peluang bertemu orang berpenyakit semakin kecil, maka semakin orang tidak takut tertular penyakit.

Jadi benar bahwa orang-orang lebih takut pergi ke masjid dibandingkan pergi ke tempat umum seperti pasar, mall, dan lain-lain. Ini hanya karena masalah dimensi waktu dan ruang. Tidak semua orang berpenyakit akan mau pergi ke tempat umum karena mungkin saja mereka lebih memilih di rumah dan meminta tolong orang lain dibandingkan datang langsung. Apalagi sekarang ada ojek online yang membuat mereka lebih mudah memesan barang. Kalau masjid? Kita bertanggung jawab atas iman kita sendiri, harus datang pada waktunya, dan belum lagi aturan (aku lebih suka menyebutnya propaganda) yang mengharuskan kita melakukan ibadah di tempat ibadah. Otomatis dengan mindset tersebut kita yang misalnya membawa penyakit dan mudah menular pasti akan pergi ke masjid.

Kesimpulannya? Orang-orang tersebut tidak menyindir, tetapi mengatakan fakta yang memang terjadi. Mungkin saja penafsiran orang mengatakan bahwa hal tersebut ironi. Padahal faktanya adalah pastinya salah satu penyampaiannya tidak benar, mengakibatkan hal tersebut memiliki sifat ambigu. Akibatnya? Pesan tidak tersampaikan dan tidak mendapatkan intinya.

Pendakwah itu Mengajak, bukan Menyindir atau Memarahi

Salah satu komponen dalam komunikasi adalah intonasi. Intonasi mungkin mewakili perasaan seseorang yang mengerucut pada senang atau tidaknya dia kepada orang lain. Padahal inti dari sebuah komunikasi adalah menyampaikan pesan, bukan tentang bagus tidaknya menyampaikan pesan. Namun, nggak semua orang fokus tentang penyampaiannya. Apalagi kalo udah jadi selebgram atau influencer; mungkin saja mereka menekankan suatu hal yang membuat orang lain ingin mengikuti dia atau mendapatkan informasi darinya. Oke aku serahkan anak-anak ilmu komunikasi saja deh tentang hal ini karena mereka belajar bagaimana mereka di-notice sama orang lain. Wkwk

Menurutku, pendakwah itu mengajak; bukan menyindir atau memarahi. Mengapa? Kita bukan setingkat nabi (Rasulullah SAW). Pastinya kita nggak bisa menetapkan hukum sekuat beliau. Lantas untuk apa kita mau mendengarkan orang yang tidak setingkat nabi? Maka dari itulah muncul para ulama. Lucunya, para ulama sendiri juga suka memberikan keputusan yang tidak sejalan. Misalnya riba di bank. Beberapa golongan ulama menganggap hal tersebut diperbolehkan, namun ada juga yang melarang. Kalo udah di tingkat mengikuti ulama masing-masing sebenarnya nggak akan ada masalah karena setiap orang punya pendapat masing-masing. Namun, lihatlah pengikut mereka. Mengapa mereka jadi penegak hukum bagi orang lain? Pasti tidak semuanya loh ya. Jadi mengapa kita menyalahkan orang kalo kita hanya punya kekuatan untuk mengajak orang?

Sekarang kalo udah gini, kita mau gimana? Nggak semua pendengar atau pengikutnya memiliki ilmu yang sama. Ada juga yang baru aja belajar adabnya, ada yang belum belajar adab, ada juga baru hijrah (jadi adabnya mengikuti pendapat sebelum hijrah). Belum lagi kita ngobrolin tentang karakter orang. Menurutku lebih baik memperbaiki akhlak daripada memperbaiki hal-hal yang ujung-ujungnya ganjaran (entah dosa atau pahala). Itu urusan orang mau dapet pahala atau nggak, mau dapet dosa atau nggak, karena nanti perhitungannya urusan Allah. Mengapa kajian-kajian yang ada menyimpulkan sampai ke masuk neraka atau surga? Mohon maaf, perhitungannya nggak semudah itu. Coba baca lagi ayat di Al-Quran, bahwa dijelaskan setiap perbuatan sebiji zarah pun dapet balasannya. Ini bukan soal hutang dan punya uang, namun seberapa besar dosa atau pahala kita. Perhitungannya juga kompleks, karena niat juga menjadi hitungan instead of melakukan sesuatu hal saja. Maka dari itu aku bukan orang yang menyuruh orang lain shalat di masjid tanpa ada alasannya. Makmurkan masjid jika kamu tidak memiliki suatu hal yang membuat kamu atau orang lain tidak nyaman. Justru dengan tidak membuat orang lain terganggu atau tidak mengganggu kekhusyukan mereka, kamu mendapatkan ganjaran lebih banyak daripada hanya ingin mendapatkan 27 derajat lebih tinggi. Daripada nanti pengen boker tapi ditahan sampe shalat selesai eh tau-taunya sakit di anus.

Kesimpulan?

1. "Takut ke masjid karena Corona" adalah hal yang wajar karena peluang tertular virus Corona di masjid lebih besar daripada di tempat lainnya. Hal ini disebabkan karena orang-orang harus pergi ke masjid (karena aturan, atau aku sebut propaganda) di waktu yang sudah ditentukan dan di tempat yang kecil. Justru hal ini bukan sindiran atau ironi mengingat hal ini bukanlah perbandingan yang sepadan.

2. Himbauan pemerintah (termasuk Kementrian Agama dan MUI) untuk tidak menganjurkan shalat di masjid sudah tepat, namun bukan berarti tidak memakmurkan masjid. Justru dengan mencegah penyebaran inilah masjid menjadi makmur karena orang tidak akan khawatir pergi ke masjid.

3. Tulisan ini lagi-lagi tidak mengkampanyekan untuk tidak pergi ke masjid. Tulisan ini mengkampanyekan untuk mencegah penyebaran yang makin meluas karena penularannya yang cukup cepat karena tidak ada gejala yang muncul pada beberapa hari sebelumnya.

4. Munculnya hal-hal semacam itu disebabkan karena kurangnya informasi yang diterima oleh orang-orang tertentu. Bisa jadi mereka hanya datang ke kajian dan mendengarkan ganjaran apa saja yang diterima. Ilmu harus dibarengi dengan adab dan etika, namun hal ini jarang muncul di kajian-kajian yang ada. Bahkan ada beberapa penceramah yang hanya menekankan ganjaran apa saja yang diterima. Ironinya, hal tersebut justru mudah ditemukan di internet dan kesimpulannya pun dapat diambil dan disebarkan dengan mudah.

5. Harapan penulis adalah mengembalikan fungsi dakwah sebagai ajakan dan himbauan, bukan sebagai pencetak penegak hukum, pemarah, mengucilkan suatu golongan, atau mengancam orang. Anda pendakwah atau peneror?

6. Jangan sampai kita sebagai seorang hamba Allah hanya ingin mencari ganjaran saja, sampai-sampai mengedepankan ego untuk menjatuhkan orang, mencemooh orang, atau menyombongkan diri. Memperbaiki diri sendiri adalah langkah awal sebelum mencari atau menggapai hal-hal lainnya.

7. Jika ada salah kata, memang datangnya dari saya sendiri. Jika ada benar kata, itu datangnya dari Allah SWT. Semoga dengan keputusan MUI, Kementrian Agama, dan organisasi Muslim yang ada dapat menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi saat ini.

Link: https://www.wattpad.com/863143733-aku-bukan-pemimpin-surgamu-nggak-nyamperin-masjid

Minggu, 05 Januari 2020

Review (sudut pandang Novelis Amatir) - Imperfect (2019)


#imperfect #review #film #bioskop #hikmah #opini #cinta #stereotipe #spoiler #cerita #novel #video #nonton #drama #comedy #komedi -----
Judul: Imperfect
Sutradara: Ernest Prakasa
Produser: Sinarvision
.
(SPOILER!!! JANGAN BACA KALO NGGAK MAU)
-----
"Kita enggak perlu sempurna untuk dapat bahagia."
.
Satu kata yang keluar dari saya setelah selesai nonton film ini adalah "MAMAM TUH DEFINISI" wkwk
.
Salah satu hal yang saya suka dari lulusan stand up comedy adalah jokes yang sebenarnya hal tersebut adalah hal yang harusnya menjadi renungan. Maksudnya? Saking melekatnya masalah itu ternyata membuat kita makin berpikir lagi, mengapa harus dipermasalahkan. Bingung ya? Wkwk. Tapi serius, jokes yang ada justru muncul dari masalah-masalah yang ada di sekitar kita. Jokes yang paling ngena dan bisa bikin ribut adalah jokes Maria memakai kerudung dan kerja di toko kerudung (sebenarnya masih banyak, aku ambil dua ini). Sebagian besar bilang jokes ini konten SARA. Namun, jokes inilah yang membuat banyak orang salah tafsir sehingga kerudung hanya boleh dipakai kaum tertentu. Jokesnya gimana? Sila nonton saja!
.
Drama ini lebih kuat pada cerita dan hikmahnya, bahwa kesempurnaan itu dipersempit maknanya oleh masyarakat. Jadinya? Masyarakat itu sendiri yang merusak tatanan sosial yang ada. Jelek, item, gendut, gak guna, akhirnya dianaktirikan. Padahal setiap orang punya posisi yang sama. Meskipun yah dalam dunia kerja, memang ada posisi tertentu yang memang mensyaratkan penampilan, salah satunya marketing dan sales. Tapi emang nggak bisa dibantah kalo penampilan adalah daya tarik pertama orang mau deket.
.
Istilahnya, "don't judge someone by its cover"
.
Tapi tetep aja, judge kita sebenarnya yang merusak orang lain; meskipun tujuannya agar menjadi lebih baik. Tapi inget! Justru keberagamannya itulah yang bikin kita paham mengapa Tuhan menciptakan dua hal yang berlawanan: agar kita paham mana yang baik atau buruk buat kita, tapi belum tentu juga untuk orang lain.
.
Jadi? Jangan suka jokes penampilan dan bikin stereotipe! Everyone has their own perfection.

Bingung?