Cari Blog Ini

Sabtu, 09 Mei 2020

Ketika Rindu Temporer Menjadi Rindu Abadi (Tribute to Didi Kempot)

Nunut ngiyup, kula nunut ngiyup.
Udan lali ora nggawa payung.
Teng tritis kulo nggih purun
Teng emper kulo nggih purun
Sak derenge matur nuwun
- Nunut Ngiyup, Didi Kempot

Mungkin aku kaget bukan main ketika pagi ini salah satu rekan kerja berkata bahwa (alm.) Didi Kempot (aku panggil beliau Pakde Didi) meninggal. Mengapa? Pertama, umur beliau lebih muda daripada bapak saya (nggak penting ya wkwk). Kedua, beliau sering diisukan dengan faktor usia sehingga kabar seperti itu selalu dihempas ke permukaan layaknya isu kematian Jackie Chan. Ketiga, posisi beliau yang sampai berita tersebut muncul tidak pernah aku ketahui; entah di Solo atau di Jakarta atau mungkin manggung di suatu tempat. Cukup kali ya, males nanti bacanya wkwk. Pakde Didi akhirnya benar-benar dikabarkan meninggalkan para penggemarnya sekaligus pertunjukan di dunianya pagi ini (saat tulisan ini ditulis, 5 Mei 2020). Sontak tangisan sobat ambyar (nama penggemar fanatik garis keras beliau) memenuhi media sosial, hingga banyak orang yang turut mengucapkan belasungkawa, termasuk beberapa gamers (yang saya lihat tidak terlalu tahu tentang beliau). Bahkan, pemakaman almarhum diiringi oleh beberapa mobil hingga kedatangan Pak Rudy selaku walikota Surakarta dan Pak Ganjar selaku gubernur Jawa Tengah. Mungkin kalo di Dota, level beliau bukan lagi "Legend" atau legenda; tetapi Ancient bahkan Immortal: tingkat paripurna permusikan, alias kalo aku nyebutnya "seniman bukan kaleng-kaleng". Tidak hanya itu, satu hal yang bikin aku (dan mungkin orang-orang yang mengaguminya) terharu sekaligus sedih adalah "rindu yang awalnya temporer akhirnya menjadi abadi" dan semuanya lewat lagu beliau.

Secara singkat aku ini bukan "Kempoters" (penggemar garis keras tapi generasi tua ini wkwk) atau "Sobat Ambyar". Aku tidak suka fanatik berlebihan :). Aku tahu lagu beliau sejak kecil, mungkin antara TK sampai SD. Lagu yang paling mengena saat itu adalah "Nunut Ngiyup" selain "Stasiun Balapan" dan "Kuncung". Selain lagu ini asik, ternyata lagu ini penuh makna (bagiku wkwk). Oke nanti dijelaskan di bawah. Singkat cerita video klip paling mengena bagiku adalah video klip "Sewu Kutha". Katanya sih bikinnya pas di Tawangmangu. Karena lagu ini, ada satu mimpi yang selalu aku ingat sampai sekarang, yaitu jalan-jalan ke Tawangmangu hingga adanya stasiun kereta api (efek dari video klip "Stasiun Balapan") di tempat tersebut, meskipun faktanya tidak ada (dan tidak pernah ada). Akhirnya beberapa lagu beliau mengisi hampir sebagian besar playlist-ku ketika mendengarkan lagu. Hal ini terus aku bawa hingga SMA sampai kuliah meskipun waktu kuliah aku jarang mendengarkan karena tergerus dengan suasana di Bandung kala itu. Sebelum beliau tutup usia, aku sempat mendengarkan beberapa lagu baru beliau seperti "Banyu Langit", "Pantai Klayar", hingga "Ambyar", "Tatu", dan lagu terakhir: "Aja Mudik" bersama walikota Surakarta, Pak Rudy.

Kata bapak, aku pernah bertemu dengan beliau saat makan di Solo Grand Mall. Saat itu aku sangat takut (karena belum pernah ketemu beliau dan aku kan orangnya lupa sama wajah orang wkwk). Maklum, aku masih kelas 2-3 SD (lupa kapannya wkwk). Saat itu aku bertemu dengan grup beliau (semua orang yang ada di video klip "Kuncung", namanya siapa takut salah sebut). Rumah beliau dekat dengan rumahku, meskipun cuman beda sekitar 3 kelurahan saja ke Barat wkwk. Harusnya aku bisa bertemu dengan beliau wkwk. Apa daya saat ada kesempatan bertemu saat beliau diperkenalkan kembali oleh mas Gofar Hilman aku nggak pernah bisa datang. Sekalinya ada kesempatan, malah penuh sesak nggak seperti zaman dulu. Alhasil ketika beliau manggung di Benteng Vastenburg akhir tahun lalu silam, aku (dan kakakku bersama temannya) hanya bisa mendengar beliau menyanyi di luar benteng. Masih banyak lagi kesempatan-kesempatan bisa bertemu beliau ketika manggung, tetapi sampai beliau pergi jadi nggak kesampaian. Huhu...

Nah sekarang, apa yang aku kagumi dari beliau?

Beliau ini ciri khas orang Solo asli, menurut sebagian besar orang yang lahir di Solo yang aku temui, termasuk generasi tua. Bagiku, beliau ini mirip dengan bapakku dari segi semuanya kecuali interest. Bapak selalu mengajariku hidup sederhana, selalu baik kepada orang lain, hingga memanusiakan manusia. Tidak jauh beda dengan Pakde Didi. Beliau ini hidup sederhana (aku jarang melihat beliau naik mobil nyetir sendiri atau disupirin sama supir pribadi). Bahkan setiap kali beliau bercerita tentang selalu datang naik sepeda di saat zaman itu beliau bisa beli motor, aku selalu berpikir dan bertanya, "mengapa beliau setidaknya beli motor dulu selagi nggak ada job manggung". Hal ini yang membuatku semakin paham dengan karakter beliau. Terlebih lagi beliau berhasil mengadakan konser amal hingga mengumpulkan donasi mencapai 9 miliar! Itu kalo dibelikan masker hasil timbunan, bisa abis semua timbunannya. Selain itu, aku lihat beliau ini orang yang jenaka. Jokes beliau ini sekelas jokes anak muda dan generasi 80-an pada umumnya dan umurnya. Ciri khas inilah yang membuat kita lebih mengenal seorang pakde Didi yang cukup humble. Menurut penuturan orang-orang, beliau inilah salah satu contoh orang "ngajeni" dengan bahasa kramanya kepada orang yang tidak dikenal. Hal ini sudah hilang tergerus oleh zaman karena zaman sekarang membenci strata sosial.

Namun, satu hal yang aku suka dari beliau: nguri-uri budaya. Beliau memperkenalkan lagu jawa dengan genre dangdut campursari kepada khalayak publik. Tidak hanya orang Jawa yang menyukai lagu beliau, tetapi juga beberapa daerah lainnya. Hal ini bisa dibuktikan dari beberapa temen Sundaku yang menyukai lagu beliau dan saat "ngobam" bersama mas Gofar, ada seorang mahasiswa Lampung yang kuliah di Solo menggemari lagu beliau. Mungkin saja aku bisa bilang beliau bisa menjadi orang terakhir penerus genre campursari. But I don't know the fact.

Cukup cerita beliau. Sekarang seperti inilah aku memaknai lagu-lagu beliau. Mungkin pemaknaan setiap orang berbeda, jadi jangan disatukan tafsirnya.

Ku buka pemaknaan lagu beliau lewat lagu "Nunut Ngiyup" di awal tulisan ini. Secara gamblang, lagu ini memang mengisahkan tentang seseorang yang terjebak lebatnya hujan di rumah seseorang dan dia memohon izin kepada pemilik rumah untuk berhenti dan beristirahat. Di sini kita diajarkan sebuah adab bahwa kita wajib meminta izin kepada pemilik jika kita menggunakan barang milik orang lain. Adab ini ternyata sudah mulai luntur di masyarakat, apalagi pandemi COVID-19. Banyak orang yang menggunakan fasilitas orang lain tanpa memberitahu kepada pemiliknya kapan dan barang apa yang dipakai. Nah sekarang dari sisiku. Kita hidup di dunia ini penuh dengan masalah (hujan). Terkadang kita menghadapi masalah yang cukup besar, namun kita tidak tahu solusi apa yang kita bisa berikan (payung). Pastinya kita mencari cara untuk menyelesaikan masalah tersebut, meskipun kita tidak tahu bagaimana caranya. Kalo orang baru jalan misalnya, pastinya semisal dia tidak membawa jas hujan ya dia mampir ke suatu tempat untuk berteduh. Unggah-ungguhnya, kita meminta izin kepada pemilik tempat untuk berhenti meneduh. Tapi inget juga kalo belum tentu kita diberi jas hujan atau payung di tempat kita berteduh. Maka dari itulah kita cukup berhenti sejenak dan beristirahat. Kadang kita punya masalah yang serius dan besar, tetapi kita tidak tahu bagaimana menyelesaikannya. Kadang kita butuh tempat untuk bercerita dan meluapkan emosi (nggak cuman marah doang ya wkwk). Kadang juga tempat kita bercerita tidak mampu memberikan solusi. Terus? Cukuplah kita berhenti sejenak dan bercerita. Let it go istilahnya dan nanti pasti masalah akan berlalu.

Salah satu lagu pakde Didi yang paling aku suka adalah "Sewu Kutha". Lagu ini terinspirasi dari (alm) Arie Wibowo yang berjudul "Walau Sekejap" karena pakde Didi suka dengan lagu tersebut. Kemudian beliau menerjemahkan lagu "Walau Sekejap" menjadi lagu berbahasa Jawa dan dipersembahkan untuk Arie Wibowo. Mengapa lagu ini menjadi favoritku? Karena lagu ini memang menggambarkan bagaimana cara aku mencari jodohku (wkwk) di dunia ini. Bedanya, orangnya belum ketauan wkwk. "Sewu kutha wis tak liwati, sewu ati tak takoni"; ribuan kota sudah kulalui dan ribuan hati sudah kucicipi. Ternyata, mereka semuanya tidak mengerti keberadaan jodohku saat. Di sinilah aku terus menunggunya meskipun bertahun-tahun aku mencari dan menunggunya. Kembali lagi, namanya juga pemaknaan, jadi bisa berbeda-beda.

Oke aku ambil contoh lagu terakhir yaitu Suket Teki dan Ban Serep. Dua lagu ini aku bisa bilang cukup unik, karena hubungan cinta bisa diumpamakan sebuah rumput teki dan sebuah ban cadangan. Tidak hanya itu, dua lagu ini mengajarkan kepada kita sebuah nilai sosial yang bagus, bisa dibilang cukup indah. "Wong salah ora gelem ngaku salah, suwe-suwe sapa wonge sing betah," orang bersalah namun tidak mengaku bersalah, lama-lama siapa yang betah. Itu fakta, karena membangun hubungan haruslah bersifat profesional dan saling memahami satu sama lain. Sekali ada ketidaksetimbangan, maka akan terus terjadi ketidaksetimbangan. Kemudian satu kalimat kunci dari Ban Serep, "janjimu kaya panganan: esuk soto sore rendang. Katresnan dudu onderdil, nggumun gampang ditempil." Janjimu seperti makanan, paginya soto sorenya rendang (maknanya adalah janji enak yang berbeda). Kemudian ditutup dengan cinta bukanlah sebuah onderdil yang gampang diganti atau disingkirkan. Noh, apa nggak bikin ambyar, apalagi orang-orang yang masih dalam tahap pacaran. Jarang ada pasangan yang diduakan, apalagi masalah kepercayaan. Bahkan Tuhan saja tidak mau diduakan. Masa kamu mau menduakan seseorang hanya karena takut hubunganmu nggak jalan dengan salah satunya? Kan lucu.

Oke daripada aku makin ngawur bikin maknanya (karena dari awal udah aku tulis versiku wkwk), sekarang aku mau bikin penutupnya. Di sinilah titik puncak "sobat ambyar" atau "kempoters" merindukan pakde Didi Kempot. Semoga Allah memberikan beliau tempat yang terbaik, karena pakde Didi menurut saya sudah memberikan teladan yang cukup baik. Beliau pernah melakukan kesalahan, namun beliau mau memperbaiki kesalahan tersebut sehingga detik ini beliau menjadi legenda bagi orang-orang sekitar. Bahkan walikota dan gubernur mau datang ke pemakaman beliau. Tidak hanya itu sebenarnya, beliau memberikan contoh perjuangan yang terbaik. Dalam konsep Islam pun tidak ada kata menyerah sampai memang menurut hati manusia, "oke ini hanya Allah yang mampu mengubahnya". Beliau ditolak berkali-kali di banyak studio rekaman, namun akhirnya beliau sering diundang ke Suriname (karena mayoritas penduduknya adalah orang Jawa) dan beberapa kesempatan ke Belanda. Beliau juga mengajarkan untuk beramal (bukti ini ada pada karya-karya beliau yang di-cover sampai diperkenalkan oleh orang lain tanpa izin namun beliau tidak memarahinya) dan rendah hati. Mengapa kita harus menanyakan agama beliau kalau menjadi manusia tidak harus menjadi Islam?

Penutup, kita ingat bahwa sang maestro menciptakan semua lagunya bagi sobat-sobat yang ambyar karena galau dengan pacarnya. Sang maestro menciptakan lagu ini karena masa lalu beliau yang ternyata setiap momennya tercakup di dalam setiap lagu-lagunya. Bayangin aja nungguin pacar di Terminal Tirtonadi, Tanjung Mas, sampai Stasiun Balapan; kurang kerad apasi Pakde Didi ini? Setiap tumbuhan dan hewan pun beliau jadikan sebuah perumpamaan dalam menggambarkan kegalauannya. Rumput teki buat gambarin janji palsu seseorang, jambu alas buat gambarin ngodein gebetan, sampe paling imbanya ban serep buat gambarin diduain sama orang. Kurang bagus apa coba.

Sang maestro mengajarkan kita untuk menangisi keadaan dengan berjoget dan merayakannya dengan senang dan ceria, sekarang beliau mengajarkan kita untuk menikmati kerinduan abadi. Awalnya sang maestro mencontohkan bagaimana beliau mengungkapkan rindu kepada sang kekasih kepada kita, akhirnya sang maestro memaksa kita untuk mengungkapkan rindu yang takkan berbalas kepadanya. Lirik Stasiun Balapan karya sang maestro yang awalnya untuk kekasihnya sekarang pun menjadi ucapan perpisahan sobat ambyar kepada sang maestro, "Daa... Dada maestro... Daa... Selamat Jalan...". Sambung lagi Banyu Langit yang "janjine lungane ora nganti suwe-suwe; pamit esuk lungane mulih ora nganti sore" menjadi pamit lunga ora ngerti mulihe kapan. Justru sekarang ditutup dengan Layang Kangen bahwa sang maestro sudah memiliki sayap (swiwi) dan pulang (ke akhirat) menemui sang kekasih (andaikata sudah di surga).

Selamat jalan, sang Maestro!
Terima kasih sudah memberikan banyak pelajaran hidup kepada kami semuanya, terkhusus aku dan sekeluarga karena dari kecil hidup di alunan lagu Jawa dan keroncong dangdut campursarimu. Kali ini sematan "rindu temporer" telah berubah menjadi "rindu abadi".

Bingung?