Cari Blog Ini

Minggu, 11 November 2018

Terbaik atau Berguna?

“Berikanlah sesuatu yang berdampak untuk sekitarmu dengan kemampuanmu.”

Bismillah
Ada yang bilang “ih Ridhos telat banget sadarnya” atau “ih apasih, Dhos” atau apalah itu. Sejujurnya aku pernah punya pemikiran seperti ini sejak pertama kali kuliah. Eh, kok bisa? Emangnya seperti apa? Kenapa di kuliah jadi kaya gitu?

Let say Alhamdulillah ‘cause I had been accepted in Faculty of Mathematics and Natural Science Institute of Technology Bandung. Padahal, aku pernah pengen masuk STEI ITB jurusan Informatika. Eh seriusan? Bener. Aku suka pemograman sejak SMA dan suka banget teknologi sejak pertama kali pegang komputer (kelas 3 SD). Dulu aku dan kakakku bikin game pakai Excel. Keren nggak? Nggak sih, padahal itu aku kelas 5-6 SD dan boro-boro temenku punya komputer. Dulu aku juga pernah lomba Komputer sampai jadi siswa teladan. Eh suka cecintaan gini masa siswa teladan? Kalo nggak percaya, ada buktinya (soalnya partnerku di siswa teladan kala itu juga se-almameter). Oke nggak usah aku ceritain, singkatnya bisa nge-lock komputer kelas dan cuman kamu doang yang tahu. Gimana tuh? Gimana jadinya kalo kamu bisa ngatur teknologi dan software di saat temen-temenmu nggak bisa?

Dulu banget kalo dibilang siswa terbaik kata anak-anak ITB mah bener, sampai suatu ketika...

Jujur aja nih kalo SMA-ku bukan di SMA itu, aku nggak bakal serealistis sekarang. Bayangin ketemu orang-orang “terbaik” di lokalnya dan dari berbagai tempat. Mau jadi siswa terbaik? Gausah lah. Kalo dulu nggak pernah ngerasain 4 peringkat terbawah seangkatan, mungkin aja sombongnya kebawa ampe kuliah (mungkin aja sih Allah nampar aku seperti ini). Namun, aku seneng banget ketemu sama temen-temen yang masih fokus sama kata “temen”. Gimana rasanya ketika sekelas kompak buat nolak ulangan? Kan kocak. Ada juga alesan lainnya yang aku rasa nggak bakal ketemu di masa kuliah. Di situ aku (dan beberapa temenku juga, maybe) berpikir, “jadi orang yang terbaik buat temennya ajalah ketimbang jadi yang terbaik but useless”. Ah ini loh kata-kata asyik. Akhirnya aku lebih suka ngajarin temen daripada be the best. Peringkat? Nilai? BODO AMAT! Penting temen urang (“aku” kalo di bahasa Jawa, kasar juga ini) nggak susah. Dan bener kita belajar bareng (meskipun main barengnya lebih banyak) untuk mengerti realita SMA seperti apa. Dan let say we have many dreams we want to realize. Akhirnya kita saling bantu-membantu (meskipun di belakang jegal-jegalan, but we don't care). Olimpiade udah nggak ikutan, kompetisi nggak ikutan, tapi suka nolongin temen: menurutmu gimana? People have their own reason.

Kenapa aku bisa meninggalkan STEI ITB? Alesannya karena temen (kalah saing, jadinya ngalah aja... ini nggak sombong ya). Saat ini belum kepikiran field study yang mengkover matematika dan pemograman. Sampai suatu ketika baca artikel tentang jurusan Matematika di FMIPA. Ah... ini yang aku cari. Langsung aja ganti pilihan, FMIPA ITB dan Matematika UNS. Baca atas ya... Menjadi salah satu dari empat pejuang seprogram di ITB tuh rasanya gimana gitu. Empat? Ya. Aku, temenku di STEI (ini alasannya wkwkwkwk), satu di SITH-S, dan satunya lagi di FMIPA. Nah kalo kalian penasaran (apalagi temen sejurusan tuh penasaran pisan), siapa sih temenku seprogram yang di FMIPA, you can check it easily. But I don’t talk about it. But I just wanna say, kok nggak sekalian di STEI aja diusahain mati-matian? Nope. Aku pengen cari aman pas itu.

Kenapa pengen masuk Matematika? Apakah masih kaya dulu? Yes, tetep bakoh (tegar atau kuat dalam bahasa Indonesia. Eh kenapa nggak aku tulis Indonesianya ya wkwkwkwk). Setelah terjun di perkuliahan, kembali lagi pikiran idealku merasuki diriku. Kok bisa? Ngeliatin temen yang super “gila” (dalam bahasa Inggris: insane), akhirnya terpengaruh. Harus perfect, dhos... Kamu punya pikiran dan ide yang perfect dan dasarnya kamu baik ke orang, pastinya niatnya juga baik. Akhirnya ya mikirnya ideal sampai pengaruh ke cinta. Eh ini nggak usah dibahas. Pokoknya kalo nggak gini ya berarti salah. Dulu sih mikirnya gitu.

Masalahnya adalah realitanya aku cuman manusia biasa tapi harus ngelawan 160-an orang terbaik di lokalnya. Susah? Banget! Down pas waktu itu.

Semua berubah ketika ketemu kating di Matematika (nama tydac qammi sebut demy kemaslahatan ummat). Cantik, baik, asyik, lucu lagi. Gimana nggak tertarik? Akhirnya aku bilang ke diriku sendiri, “ayo mati-matian masuk matematika!” Akhirnya ya masuk (lah kan liat sendiri). Sama nih, matematika ternyata susah dan aku cuman manusia biasa. Lagi-lagi ketemu kating di Matematika yang punya sifat sama (tapi beda orang ya). Gimana nggak semangat? Mati-matian lah buat lulus Juli 2018, kala itu. Oke aku nggak ceritain suka duka tingkat 4 karena menyangkut seseorang dan aku udah janji nggak akan cerita bagian ini. Intinya mati-matiannya di Matematika karena 3 orang. But apakah masih ingin menjadi terbaik? Kepikiran cumlaude aja nggak. Aku cuman mikir pengen ngajarin temen aja daripada cumlaude tapi nggak bisa nolongin temen (akhirnya nyesel karena... bukan cumlaude pokoknya).

“Rumput tetangga selalu lebih hijau”, kenapa? Karena kita telah menentukan standar untuk diri kita. So, kalo ngeliat temen yang lebih jago, pasti kita agak minder dan pengen kaya mereka. Liat aja ada yang tiap hari ambis, belajar terstruktur, nilai bagus terus, cumlaude lagi, apalagi masuk honorable mention sampe pernah ngejabat di kepanitiaan dan jadi kadiv. Keren loh dia! But it’s useless, dude. Stop it! Mending mikir diri kamu aja, kata dia (padahal kataku dulu juga gitu, tempe).

Pas banget Jobfair beberapa waktu lalu, dan aku sadar satu hal. Pikiran realistisku kembali lagi (emang nggak sehat, pak, jujur). Akhirnya aku nemu interest-ku saat ini. Telat? Mending telat tapi mantep di hati. Sekarang mah let it flow aja nanti Allah ngasih yang terbaik kek gimana, yang penting usahaku segini buat urusan yang itu. Cemcem istikharah tapi nggak pake shalat (namanya tawakal kalo di Islam). Di saat ini juga aku udah nyiapin segala plan untuk masa depanku. Aku udah nggak punya pikiran harus jadi terbaik atau punya segalanya. Aku pengen berdampak untuk orang lain, itu aja. Emang kerjaannya apa? Sampingannya adalah nulis dan bersama tim kecil punya proyek bikin konten buat 5 hari. Susah loh, apalagi kalo dituntut profesional. Apalagi disuruh bikin video abis ini. Bikin konten aja masih belum oke, apalagi bikin video. But mending kaya gini daripada dulu pengen gini atau gitu tapi kita nggak suka. Kita bisa jadi yang terbaik, but kalo useless? Ibarat kamu bikin helikopter paling canggih dan menguasai langit, but orang-orang sekitarmu adalah nelayan dan butuh cara agar resource tetep ada serta memenuhi demand pasar.

Oke, serius nulisnya.

Buat kalian yang belum bisa merasakan masa depan kalian; jangan takut untuk meraba! Rumput tetangga emang lebih baik, but rumputmu have better use for you than rumput mereka. You have your own skill and you have your own. Menilai orang better atau worse emang perlu, but this isn’t the main point. Main point di sini adalah gimana kamu berguna buat alam semesta, minimal buat temen sekitar. Kenapa? “Wong nandur bakal ngundhuh”, barangsiapa menanam bakal mendapatkan hasilnya. Kamu nggak bisa nandur pari pakai cara orang lain. Kenapa? Bisa jadi rasanya tidak sesuai dengan standar rasamu. Tandurlah pari dengan caramu! Kamu bakal ngerasain rasanya parimu sendiri. Don’t be the best; be useful. Gimana caranya jadi useful? Kamu sendiri yang tau. Tadi udah dijelasin ntar muter-muter. Dan satu lagi: kalo kamu nggak suka sesuatu, ambil aja manfaatnya. Loh ntar dosa dong? Lah kata siapa dosa selama kamu nggak melanggar larangan Allah? Biarin Allah yang ngatur kalo kek gitu. Sekarang mah kamu ngikutin perintah Allah dan ngejauhin larangannya. Udah gitu aja, nggak ribet.

Semuanya simpel, karena yang bikin ribet adalah kita terlalu idealis sehingga semua standar yang kita tetapkan menjadi susah untuk kita sendiri. Kenali dirimu sendiri dan bergunalah untuk orang lain, and you will know what world want from you, not what you want from the world!

NB: Setiap orang punya opini tersendiri, opiniku cuman "yang terbaik di mata Allah adalah yang paling bertakwa" dan bertakwa banyak banget jalannya.

Kamis, 08 November 2018

Selasar Gedung Teknik - Sampai Rintik Terakhir

...
Pagi mulai menyambut senyuman hari. Surya pun leluasa menghangatkan alam semesta tanpa tercegah sampah-sampah semesta. Awan-awan memakai baju biru langitnya seolah-olah bersembunyi dan takut menemuiku di atas Bumi. Angin mulai berjalan menyentuh rambut-rambut tubuhku dan membelainya. Kulitku mulai merasa lebih hangat daripada subuh hari ini. Apakah hari ini pertanda datangnya kebaikan padaku?
Semua kata-kataku telah kupersiapkan. Kucoba menyusun alur cerita yang selama ini terjadi diantara kami. Munsi, wanita idamanku saat ini, memberikanku waktu untuk berbicara langsung. Apakah ini pertanda datangnya perasaan yang tidak biasa? Selama ini Munsi tak mau dan bahkan tak akan bertemu denganku. Dia selalu berdiri di selasar gedung teknik yang tingginya mencapai mall pertama di kota Juko. Apa yang dia lakukan? Menunggu ayahnya datang ditemani air-air langit yang jatuh bergantian. Mungkin dia sedikit gugup jika ada seorang lelaki sebusuk diriku datang dan menemaninya menunggu kedatangan ayahnya. Namun, dia lakukan ini ketika hujan datang. Ayahnya pasti akan menjemputnya lebih lambat daripada biasanya. Bisa jadi terlambat 5 sampai 10 menit. Andai saja dia mau mengobrol pada saat itu, mungkin saja kami bisa membuat cerita terindah.
Siang pun berlalu. Surya mulai melepas pegangannya dari langit, jatuh perlahan menuju ufuk Barat kota Juko. Udara panas mulai mendingin. Jika kamu merasakan tanah di sekitar tempatku berpijak, kamu akan merasakan suhu yang mulai mengecil. Namun, tidak dengan hatiku saat ini. Hatiku mulai memanas, seperti memasak air di panci. Beberapa jam lagi aku akan memulai obrolan hangat dengan Munsi. Oke, aku harus mencoba untuk tidak gugup saat ini. Aku pergi ke selasar gedung teknik, tempat Munsi menunggu ayahnya setiap sore. Aku mencoba belajar mengobrol agar tidak gugup.
Tetapi...
"Zuan, bisakah kita mengobrol?"
Tiba-tiba, Munsi datang dan langsung menepuk diriku dengan sapaan manisnya.
"Baiknya, Munsi. Aku siap untuk mengobrol."
...
"Aku tidak suka denganmu! Sudahlah, cukupkan dirimu dengan segala kelakuanmu!"
"Munsi, dengarlah," akhirnya aku mulai melemahkan nafasku.
"Aku memang mencintaimu. Aku memang telah terlalu mencintaimu. Tetapi, aku mulai menyayangimu. Aku bisa marah kepadamu kali ini. Aku bisa membuatmu lebih sedih daripada saat ini. Tetapi, aku menghargai kamu selama ini. Aku tidak mau mengganggu kehidupanmu dan aku tidak mau menyentuh segala perasaanmu. Jika kamu masih bersikeras mengusirku, aku akan pergi sejauh-jauhnya. Janganlah kamu mencariku! Aku melakukan ini karena aku memang menyayangimu. Yah..."
Akhirnya Munsi meninggalkanku dan pergi tanpa balasan kata apapun. Inilah kata terakhir yang aku bisa ucapkan kepadanya. Apakah nanti kami akan bertemu lagi? Entahlah. Biarkan senja menjawab segala risau perasaanku dan menghilangkan segala sedih hatinya.
...

Bingung?