Cari Blog Ini

Jumat, 10 April 2020

Nggak Nyamperin Masjid Karena Corona, Yakin?

Aku dedikasikan tulisan ini untuk salah satu kakak tingkatku Kang Giffari Alfarizy karena di saat aku pengen nulis ini, beliau sudah menulis tentang keluh kesah yang sama. Tujuannya sama lagi. Jadi biar nggak dibilang plagiat, aku berterima kasih dulu. Mungkin saja beberapa orang yang membaca tulisan ini juga berpendapat hal yang sama karena hipotesaku orang-orang yang menulis ini belum tentu orang yang punya latar belakang agama yang luas dan bermacam-macam. Mungkin saja dia memang memiliki wawasan yang luas, namun ternyata ada "kepentingan" dibalik kata-katanya. Maka dari itu aku mengajak para pembaca untuk mendengungkan hal yang seharusnya menjadi benar di dunia ini.

Baiklah aku mulai.

=======================================================

Beberapa waktu yang lalu (tepatnya sehari sebelum tulisan ini terbit), saya menemukan satu untaian kata yang saya bisa katakan "menyesatkan", padahal berbau agama dan itu harusnya benar. Penjelasan akan saya jabarkan di bawah tanpa mengambil teori. Mengapa? Teorinya nanti bisa pembaca dapatkan dengan mencarinya di mesin pencari di internet. Tulisannya seperti apa?

"Pergi ke mall saja berani; pergi ke pasar saja berani; pergi ke mana-mana saja berani; tapi pergi ke masjid saja takut corona."

Renungan bukan? Loh harusnya kita (orang muslim) berani pergi ke masjid dan takut pergi ke tempat lainnya, dengan alasan apapun. Mengapa ini terbalik? Atau jangan-jangan kita yang disinggung oleh orang yang menulis tulisan tersebut adalah orang-orang yang takut sama Virus Corona dibandingkan Allah?

-----------------------------------------------------------------------------------------

Apakah itu virus Corona?

Virus Corona ini adalah sebuah virus baru yang bermutasi, muncul mulai tahun 2019 akhir hingga sampai saat tulisan ini terbit, vaksin belum muncul dan masih menjadi pandemi di dunia. Jika pembaca ingin mengetahui lebih lanjut, sila pembaca mencari tahu di mesin pencari. Namun, saya tidak ingin membahas definisi atau teori dasarnya. Saya ingin menuliskan beberapa hal yang penting.

Virus Corona ini bukan tipe virus buatan. Virus ini mungkin bisa dibuat, namun konsekuensinya adalah pembuatnya pasti juga terkena virusnya. Mungkin loh ya. Namun banyak orang mengatakan bahwa virus ini sudah bermutasi. Mengerikan? Justru yang mengerikan bukanlah hal tersebut. Virus ini ternyata mampu menjangkit lebih dari 1 juta orang dalam kurun waktu 4 bulan 10 hari sejak kasus pertama muncul (belum tentu orang pertama yang terjangkit). Kalau pembaca hitung, maka terdapat kira-kira 7.693 orang per hari, atau 321 orang per jam, atau 6 orang tiap menitnya. Ini masih hitungan kasar, karena menurut teori, kemungkinan akan mengikuti distribusi normal, which is akan mencapai puncaknya di suatu titik hingga kemudian turun (tren mulai menurun). Oke seperti yang saya sampaikan, teori bisa pembaca cari di mesin pencari. Namun coba interpretasikan angka 6 orang tiap menit. Rata-rata satu keluarga terdiri dari 4 orang. Berarti 6 orang tiap menit bisa dikatakan 1 keluarga ditambah 2 orang yang dekat dengan keluarga tersebut. Justru inilah mengapa kecepatan penyebarannya cukup tinggi.

Apa yang dikhawatirkan oleh sebagian besar penduduk di dunia? Obatnya belum ketemu, tetapi efeknya cukup mengerikan. Beberapa penelitian menyebutkan salah satu dampak terburuknya adalah berkurangnya fungsi pernafasan hingga 20%. Bahkan kematian terbesar dialami oleh orang-orang yang lanjut usia dan memiliki penyakit komplikasi terutama penyakit pernafasan.

Shalat di Masjid itu Wajib, Tau!

Kalo aku disuruh marketing atau kampanye shalat di masjid adalah hal yang wajib, sorry to say banget aku nggak mau. Bukannya karena aku nggak suka atau liberalis, tapi aku akan paparkan banyak alasannya.

Pertama, janji orang yang shalat di masjid itu 27 derajat lebih tinggi daripada shalat di rumah (entah kali lipat atau cuman lebih tinggi). Jadi misalkan kita shalat di rumah dinilai 20, maka dengan kualitas shalat yang sama tapi kita melakukannya di masjid (dan mengikuti imam tentunya) akan mendapatkan 27 derajat lebih tinggi, yaitu mungkin 540 atau 47 pahala. Andaikan kita berbuat keburukan dengan nilai dosa 1 saja, maka kita butuh 540 dosa atau 47 dosa untuk menghapus 1 pahala karena shalat di masjid. Ini yang selama ini aku pegang.

Kedua, beberapa hadits mengatakan bahwa Rasul tidak menyukai (bahkan sampai membakar rumah) laki-laki yang tidak datang ke masjid. Oke pemahamanku bukan ke tingkat dhaif atau shahih-nya hadits ini, tetapi aku pakai pemahamanku berdasarkan dimensi ruang dan waktu. Kemungkinan besar hadits ini muncul setelah Fathul Mekkah, atau mungkin saja saat di Madinah namun dalam suatu daerah (kalo kita nyebutnya kelurahan atau kecamatan). Mengapa? Andai Rasul benar melakukannya, maka Rasul hanya bisa menandai rumah kaum muslimin pada saat yang aku sebutkan (kecuali jika Rasul memang hafal rumah kaum muslimin saat itu). Namun, titik beratku ada pada jumlah kaum muslimin yang belum mencapai ribuan. Bahkan menurut kisah, masjid Nabawi dulu hanya sebesar rumah tipe 36. Berarti jemaah yang datang sekitar 100-200 orang. Ke mana sisanya? Atau memang zaman itu hanya segitu? Kalo kita bicara Fathul Mekkah, mungkin saja kita akan menduga shalat didirikan di masjid Haram (inget zaman dulu hanya 1 lantai saja). Menurut perkiraanku dengan kondisi di atas, kemungkinan jamaah yang datang sekitar 500-1.000 orang. Belum lagi kapan Rasul melakukannya dan seberapa sering. Andai Rasul terus melakukannya, berarti Rasul jarang mendirikan shalat berjamaah, atau memang Allah memberi mukjizat kepada Rasul untuk mengetahui siapa yang tidak datang ke masjid. Wallahu a'lam. Namun intinya bukan mewajibkan shalat di masjid, melainkan penekanan bahwa shalat di masjid secara berjamaah itu lebih baik dan sangat dianjurkan. Jadi sekadar himbauan.

Nah ini kan alasan yang biasa dipakai untuk mewajibkan pergi ke masjid. Mengapa aku nggak mau? Alasannya adalah banyak hal yang disembunyikan dari kampanye (atau propaganda sebut saja deh haha). Pertama apakah wajib bagi seluruh laki-laki? Ternyata tidak (salah satu contohnya adalah ketika aku kena cacar air). Propaganda mengatakan hal tersebut wajib, padahal seharusnya "sangat dianjurkan dan disarankan jika tidak ada udzur". Hal tersebut berbeda dari segi makna. Kedua, akibatnya apa? Anak-anak masuk masjid tanpa pengawasan. Aku mengalami hal seperti ini sejak aku mencoba shalat di masjid perumahan. Akibatnya apa mengapa aku khawatir tentang hal ini? Setelah selesai, mereka langsung saja keluar. Bener ini! Belum lagi ngobrol di teras masjid (belum keluar masjid ini). Okelah kalo ngobrolin tentang mainan sih nggak masalah. Tapi ngobrolinnya tentang "eh kamu tadi batal shalatnya loh...". Pertama, oke kalo itu tujuannya mengingatkan. Tapi mereka masih kecil, nggak tahu segalanya tentang batalnya shalat. Kok udah jadi ulama ya? Atau jadi Tuhan deh (soalnya aku tau yang ngomong itu juga batal shalatnya, eh salah harusnya tidak sempurna shalatnya)? Kedua, kalo ngajarin anak, oke deh aku setuju. Tapi coba tadi aku bilang apa: nggak ada yang mendampingi. Oke kalo misalkan untuk orang tua? Banyak sekali orang-orang yang shalat, namun tidak membersihkan dirinya dan tidak memakai wewangian. Berapa banyak? Aku sering. Bahkan pernah aku menahan nafas dari awal shalat sampai salam. Padahal hal tersebut dibilang sunah. Lah kok lucu? Bukannya shalat itu adabnya tidak boleh mengganggu orang lain juga? Pastinya ini juga salahnya mereka-mereka, bukan? Tetapi penyampaiannya seperti apa?

Maka dari itu mengapa aku bilang lebih baik pendakwah mengatakan "sangat dianjurkan dan disarankan jika tidak ada udzur" dibandingkan wajib. Ketika kita bilang "kamu ada udzur", kita bisa berikan solusinya. Coba kalo kita bilang "wajib". Maka kita hanya menyuruh mereka datang instead of melihat kondisinya dia. Di sinilah muncul glorifikasi dari orang-orang yang punya udzur untuk orang-orang tertentu (termasuk propaganda tadi ya wkwk). Tujuannya? Mengejek secara halus, alias menyindir. Belum lagi beberapa masjid hanya khusus pengikut tertentu. Ini terjadi, bahkan parahnya sampai mengepel jejak kaki orang-orang yang bukan menjadi pengikutnya. Parah nggak sih, ngajakin ke masjid tapi masjid saja dikhususkan bagi orang-orang tertentu? Belum lagi masalah tidak merangkulnya pengurus masjid dengan pendatang (ceritanya ini ada di autobiografiku). Jadi sebenarnya kita ini "memaksa" orang atau sebenarnya serakah dengan surga-Nya? Pastinya tidak semua masjid seperti itu. Namun, menurutku instead of mengajak orang ke masjid, mengapa kita tidak membuat masjid itu tempat dikenang? Atau cuman mau berada di bawah hukum yang nas tanpa memperbaiki diri sendiri?

Pastinya ada beberapa hadits yang secara eksplisit menuliskan kewajiban seorang muslimin pergi ke masjid (terutama laki-laki). Asumsikan saja kita wajib shalat di masjid dan tidak mengikuti apa yang aku katakan. Siapa tau benar.

Takut ke Masjid karena Corona, Ironi?

Menggunakan asumsi kita wajib shalat di masjid, maka setiap orang harus ke masjid. Kita berandai-andai andaikata tidak ada satupun muslimin yang tidak pergi ke masjid. Jadi mengapa takut Corona kalo sebenarnya kita bisa ke masjid?

Mengapa pasar tidak mendengungkan hal yang sama? Orang ke pasar itu cari bahan makanan atau minuman. Selanjutnya tidak ada ikatan hukum tentang prosedur standar ke pasar (ke pasar harus ngapain), sehingga orang bebas pergi ke pasar. Karena tidak ada ikatan hukum juga, maka itu hak mereka mau ke pasar atau nggak. Selanjutnya obyek yang kita cari di pasar tidak selalu hanya tersedia di pasar. Jadi kita bisa beli di tempat lain seperti mall, toko, atau tempat lain. Jika malas? Kita bisa pergi ke rumah makan dan langsung makan di sana. Pastinya orang memahami dirinya jika dia sakit yang parah pasti tidak akan ke sana. Mungkin saja beberapa orang menitipkan belanjaannya kepada orang lain. Mengapa mereka berani ke pasar?

Oke misalnya di suatu kota berpenduduk 10.000 muslim (tanpa ada pemeluk agama lainnya) terdapat 5 masjid, 5 jenis pasar sembako (entah itu berbentuk toko atau pasar), 5 jenis mall, 5 jenis tempat wisata, dan 5 jenis restoran. Diantara penduduk tersebut, 50 orang disabilitas, 100 orang berusia lanjut, dan 100 orang memiliki penyakit (anggap saja Corona). Kita asumsikan tidak ada pembagian gender supaya lebih mudah.

Cerita pertama nih kita wajib pergi ke masjid tepat waktu (sesuai waktu shalat). Kita tidak dianjurkan ke tempat seperti mall, pasar, atau tempat yang lain dan tidak ada ikatan waktu. Asumsikan juga pendistribusian orang-orang khusus tadi secara merata.

Pertanyaan pertama, berapa peluang kita bertemu orang yang memiliki penyakit (anggap saja Corona)?

Jika kita bertemu mereka di masjid (asumsinya distribusi merata), maka dari 10.000 muslim akan ada 2.000 muslim dalam satu masjid dalam satu waktu, terdiri dari 10 orang disabilitas, 20 orang berusia lanjut, dan 20 orang memiliki penyakit. Berarti peluang kita bertemu orang berpenyakit di masjid adalah 20/2.000; atau 1% (0,01). Kalau di tempat lain? Karena mengikuti dimensi waktu, maka kita belum tentu mendapatkan peluang 1% (0,01). Pastinya mereka pergi ke tempat selain masjid mungkin 1 sampai 2 kali sehari (tidak seperti masjid yang bisa 5 kali sehari). Anggap saja mengikuti distribusi normal dengan puncak keramaian jam 9 dan jam 5 sore dengan asumsi distribusi merata dengan puncaknya misalkan saja 1.000 muslim (setengah dari masing-masing kategori). Maka peluang kita akan bertemu dengan orang berpenyakit sebanyak 4/1.000; atau 0,4% (0,004). Kecil bukan? Belum lagi kita kaitkan dengan dimensi ruang dimana luas masjid anggap saja 200 meter persegi. Mau pasar dengan luas berapapun, dia terikat dengan dimensi waktu. Justru itulah yang membuat peluangnya makin kecil.

Jika peluang bertemu orang berpenyakit semakin kecil, maka semakin orang tidak takut tertular penyakit.

Jadi benar bahwa orang-orang lebih takut pergi ke masjid dibandingkan pergi ke tempat umum seperti pasar, mall, dan lain-lain. Ini hanya karena masalah dimensi waktu dan ruang. Tidak semua orang berpenyakit akan mau pergi ke tempat umum karena mungkin saja mereka lebih memilih di rumah dan meminta tolong orang lain dibandingkan datang langsung. Apalagi sekarang ada ojek online yang membuat mereka lebih mudah memesan barang. Kalau masjid? Kita bertanggung jawab atas iman kita sendiri, harus datang pada waktunya, dan belum lagi aturan (aku lebih suka menyebutnya propaganda) yang mengharuskan kita melakukan ibadah di tempat ibadah. Otomatis dengan mindset tersebut kita yang misalnya membawa penyakit dan mudah menular pasti akan pergi ke masjid.

Kesimpulannya? Orang-orang tersebut tidak menyindir, tetapi mengatakan fakta yang memang terjadi. Mungkin saja penafsiran orang mengatakan bahwa hal tersebut ironi. Padahal faktanya adalah pastinya salah satu penyampaiannya tidak benar, mengakibatkan hal tersebut memiliki sifat ambigu. Akibatnya? Pesan tidak tersampaikan dan tidak mendapatkan intinya.

Pendakwah itu Mengajak, bukan Menyindir atau Memarahi

Salah satu komponen dalam komunikasi adalah intonasi. Intonasi mungkin mewakili perasaan seseorang yang mengerucut pada senang atau tidaknya dia kepada orang lain. Padahal inti dari sebuah komunikasi adalah menyampaikan pesan, bukan tentang bagus tidaknya menyampaikan pesan. Namun, nggak semua orang fokus tentang penyampaiannya. Apalagi kalo udah jadi selebgram atau influencer; mungkin saja mereka menekankan suatu hal yang membuat orang lain ingin mengikuti dia atau mendapatkan informasi darinya. Oke aku serahkan anak-anak ilmu komunikasi saja deh tentang hal ini karena mereka belajar bagaimana mereka di-notice sama orang lain. Wkwk

Menurutku, pendakwah itu mengajak; bukan menyindir atau memarahi. Mengapa? Kita bukan setingkat nabi (Rasulullah SAW). Pastinya kita nggak bisa menetapkan hukum sekuat beliau. Lantas untuk apa kita mau mendengarkan orang yang tidak setingkat nabi? Maka dari itulah muncul para ulama. Lucunya, para ulama sendiri juga suka memberikan keputusan yang tidak sejalan. Misalnya riba di bank. Beberapa golongan ulama menganggap hal tersebut diperbolehkan, namun ada juga yang melarang. Kalo udah di tingkat mengikuti ulama masing-masing sebenarnya nggak akan ada masalah karena setiap orang punya pendapat masing-masing. Namun, lihatlah pengikut mereka. Mengapa mereka jadi penegak hukum bagi orang lain? Pasti tidak semuanya loh ya. Jadi mengapa kita menyalahkan orang kalo kita hanya punya kekuatan untuk mengajak orang?

Sekarang kalo udah gini, kita mau gimana? Nggak semua pendengar atau pengikutnya memiliki ilmu yang sama. Ada juga yang baru aja belajar adabnya, ada yang belum belajar adab, ada juga baru hijrah (jadi adabnya mengikuti pendapat sebelum hijrah). Belum lagi kita ngobrolin tentang karakter orang. Menurutku lebih baik memperbaiki akhlak daripada memperbaiki hal-hal yang ujung-ujungnya ganjaran (entah dosa atau pahala). Itu urusan orang mau dapet pahala atau nggak, mau dapet dosa atau nggak, karena nanti perhitungannya urusan Allah. Mengapa kajian-kajian yang ada menyimpulkan sampai ke masuk neraka atau surga? Mohon maaf, perhitungannya nggak semudah itu. Coba baca lagi ayat di Al-Quran, bahwa dijelaskan setiap perbuatan sebiji zarah pun dapet balasannya. Ini bukan soal hutang dan punya uang, namun seberapa besar dosa atau pahala kita. Perhitungannya juga kompleks, karena niat juga menjadi hitungan instead of melakukan sesuatu hal saja. Maka dari itu aku bukan orang yang menyuruh orang lain shalat di masjid tanpa ada alasannya. Makmurkan masjid jika kamu tidak memiliki suatu hal yang membuat kamu atau orang lain tidak nyaman. Justru dengan tidak membuat orang lain terganggu atau tidak mengganggu kekhusyukan mereka, kamu mendapatkan ganjaran lebih banyak daripada hanya ingin mendapatkan 27 derajat lebih tinggi. Daripada nanti pengen boker tapi ditahan sampe shalat selesai eh tau-taunya sakit di anus.

Kesimpulan?

1. "Takut ke masjid karena Corona" adalah hal yang wajar karena peluang tertular virus Corona di masjid lebih besar daripada di tempat lainnya. Hal ini disebabkan karena orang-orang harus pergi ke masjid (karena aturan, atau aku sebut propaganda) di waktu yang sudah ditentukan dan di tempat yang kecil. Justru hal ini bukan sindiran atau ironi mengingat hal ini bukanlah perbandingan yang sepadan.

2. Himbauan pemerintah (termasuk Kementrian Agama dan MUI) untuk tidak menganjurkan shalat di masjid sudah tepat, namun bukan berarti tidak memakmurkan masjid. Justru dengan mencegah penyebaran inilah masjid menjadi makmur karena orang tidak akan khawatir pergi ke masjid.

3. Tulisan ini lagi-lagi tidak mengkampanyekan untuk tidak pergi ke masjid. Tulisan ini mengkampanyekan untuk mencegah penyebaran yang makin meluas karena penularannya yang cukup cepat karena tidak ada gejala yang muncul pada beberapa hari sebelumnya.

4. Munculnya hal-hal semacam itu disebabkan karena kurangnya informasi yang diterima oleh orang-orang tertentu. Bisa jadi mereka hanya datang ke kajian dan mendengarkan ganjaran apa saja yang diterima. Ilmu harus dibarengi dengan adab dan etika, namun hal ini jarang muncul di kajian-kajian yang ada. Bahkan ada beberapa penceramah yang hanya menekankan ganjaran apa saja yang diterima. Ironinya, hal tersebut justru mudah ditemukan di internet dan kesimpulannya pun dapat diambil dan disebarkan dengan mudah.

5. Harapan penulis adalah mengembalikan fungsi dakwah sebagai ajakan dan himbauan, bukan sebagai pencetak penegak hukum, pemarah, mengucilkan suatu golongan, atau mengancam orang. Anda pendakwah atau peneror?

6. Jangan sampai kita sebagai seorang hamba Allah hanya ingin mencari ganjaran saja, sampai-sampai mengedepankan ego untuk menjatuhkan orang, mencemooh orang, atau menyombongkan diri. Memperbaiki diri sendiri adalah langkah awal sebelum mencari atau menggapai hal-hal lainnya.

7. Jika ada salah kata, memang datangnya dari saya sendiri. Jika ada benar kata, itu datangnya dari Allah SWT. Semoga dengan keputusan MUI, Kementrian Agama, dan organisasi Muslim yang ada dapat menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi saat ini.

Link: https://www.wattpad.com/863143733-aku-bukan-pemimpin-surgamu-nggak-nyamperin-masjid

Bingung?